Kamis, 12 Mei 2016

KHAWARIJ DAN MURJI'AH (Aqidah Ilmu Kalam)

I.               Pendahuluan
            Kekuasaan adalah sesuatu yang amat sangat mendapat perhatian lebih oleh setiap makhluk-Nya. Tuhan memiliki kekuasaan dengan semua apa yang diciptakannya, bahkan di hutan sekalipun ada yang merasa menguasai. Hal ini pun tak luput dari kekuasaan manusia di dunia, oleh karena manusia sudah merasa dirinya unggul bahkan lebih unggul dari malaikat yang diberikan kelebihan berupa akal untuk berfikir. Dalam dunia politik kekuasaan dianggap menjadi nomor satu untuk dapat menjadi seorang penguasa, hal ini mulai terjadi setelah Rasulullah SAW wafat. Setelah beliau meninggal, beliau digantikan oleh Abu Bakar, hal ini sama dengan apa yang ditulis oleh Harun Nasution (1986: 5-6) dalam bukunya bahwa Abu Bakar adalah khalifah yang disetujui oleh masyarakat Islam sebagai pengganti Nabi menjadi khalifah di negara mereka (Madinah) pada waktu itu. Kemudian setelah Abu Bakar, ia digantikan oleh Umar, Umar oleh Utsman. Di masa kepemimpinan Utsman inilah praktik-praktik politik mulai terjadi diantaranya adalah tindakan Utsman mengangkat orang-orang dari keluarganya menjadi pemimpin daerah (Gubernur). Dari tindakan Utsman ini menimbulkan reaksi tidak senang oleh masyarakat pada waktu itu, sehingga mengakibatkan terbunuhnya Utsman oleh para pemberontak.
            Perpecahan dan pemberontakan mulai muncul, hal ini juga diperkuat dengan terpilihnya Ali sebagai khalifah pengganti Utsman. Sebagian dari mereka tidak setuju Ali yang terpilih, peperangan pun menjadi salah satu jalan keluar untuk menentukan siapa yang berhak berkuasa, salah satunya adalah pemberontakan yang dilakukan oleh Mu’awiyah. Mu’awiyah merasa dirinyalah yang paling berhak atas kedudukan sebagai khalifah pengganti Utsman, karena dia adalah keluarga dekat Utsman. Saat peperangan berlangsung ternyata kemenangan hampir saja digondol Ali, Mu’awiyah oleh tangan kanannya melakuakan siasat utuk mencegah kemenangan Ali yaitu dengan ber-tahkim pada al-Qur’an, setelah melakukan tahkim kemenangan pun berpindah ke tangan Mu’awiyah.
            Di masa ini pula munculnya beberapa golongan yang membentuk suatu faham yang sesuai dengan apa yang mereka yakini. Persoalan-persoalan yang terjadi dalam lapangan politik, akhirnya membawa kepada timbulnya persoalan-persoalan teologi (Nasution, 1986: 8).

II.               Pembahasan
A.              Khawarij
1.                Latar Belakang Kemunculan
            Pada perang Shiffin tepatnya pada tahun 37 H/648 M yang melibatkan perseteruan antara Ali bin Abi Thalib dengan kelompok bughat (pemberontakan) yang dipimpin oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan perihal persengketaan khilafah. Perang inilah yang menjadi sebab adanya kelompok Khawarij karena sikap Ali yang menerima tahkim yang diajukan oleh pihak Mu’awiyah. Hal ini diperjelas lagi oleh Teuku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy (2009: 128) bahwa nama Khawarij diberikan kepada pengikut Ali yang keluar dari barisan di waktu Ali menerima tahkim dari Mu’awiyah dalam pertempuran Shiffin. Mereka disebut Khawarij, karena mereka keluar dari rumah-rumah mereka dengan maksud berjihad di jalan Allah, hal ini sesuai dengan firman Allah:
وَمَن يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللّهِ يَجِدْ فِي الأَرْضِ مُرَاغَماً كَثِيراً وَسَعَةً وَمَن يَخْرُجْ مِن بَيْتِهِ مُهَاجِراً إِلَى اللّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلى اللّهِ وَكَانَ اللّهُ غَفُوراً رَّحِيماً -١٠٠-
Artinya: “Dan barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka akan mendapatkan di bumi ini tempat hijrah yang luas dan (rezeki) yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh, pahalanya telah ditetapkan di sisi Allah. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang” (Qs. An-Nisa [4]: 100).

            Mereka juga disebut Syurah, karena mereka telah menganggap bahwa diri mereka telah mereka jual kepada Allah, Allah berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاء مَرْضَاتِ اللّهِ وَاللّهُ رَؤُوفٌ بِالْعِبَادِ -٢٠٧-
Artinya: “Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya untuk mencari keridaan Allah. Dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya” (Qs. Al-Baqarah [2]: 207).
            Ada sebutan lagi untuk mereka yaitu Haruriyah, karena mereka pergi berlindung di suatu kota kecil dekat Kufah yang bernama Harura, dan mereka juga dinamakan Muhakkimah karena selalu menggunakan semboyan La hukma illa lillah (tidak ada hukum kecuali dari Allah).
            Kata Khawarij sendiri secara bahasa (etimologi) berasal dari bahasa Arab Kharaja yang berarti keluar, muncul, timbul, atau memberontak, sedangkan menurut istilah (terminologi) ilmu kalam adalah suatu sekte/kelompok/aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan barisan karena tidak sepakat terhadap Ali yang menerima tahkim dari Mu’awiyah (Rozak dan Anwar, 2012: 63-64).
            Menurut Shalabi (1983: 309-317) dalam pertempuran Shiffin saat golongan Ali hampir mendapatkan kemenangannya, Mu’awiyah lantas mengalihkan perjuangan ke medan lain dimana Ali tidak mungkin menandinginya yaitu medan siasat dan tipudaya. Para prajurit Mu’awiyah mengangkat musyaf-musyaf mereka di ujung tombak dengan menyeru untuk ber-tahkim pada al-Qur’an. Ali merasa bahwa itu adalah tipu muslihat musuh, akan tetapi pedang-pedang tentaranya sudah tumpul seakan mereka telah menantikan seruan itu dengan kesabaran yang hampir habis, akhirnya dengan sangat terpaksa Ali menerima arbitrase (tahkim), dengan mengirimkan Abu Musa al Asy’ari dari pihak Ali dan Amru ibnu ‘Ash dari pihak Mu’awiyah. Kemudian datanglah saatnya untuk melaksanakan tahkim, hakim-hakim dari kedua pihak telah berkumpul di Daumul Jandal dengan hasil yang sangat mengecewakan, karena Abu Musa bukanlah tandingan Amru ibnu ‘Ash yang ahli dalam bersiasat. Dari hasil tahkim inilah sebagian pihak dari Ali sangat kecewa dan akhirnya mereka memisahkan diri dari barisan Ali yang kemudian dikenal dengan golongan “Khawarij”, mereka menganggap apa yang dilakukan Ali adalah salah karena menerima tahkim, begitu pula dengan apa yang dilakukan oleh Mu’awiyah karena dia telah menurunkan khalifah yang sah. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa pada saat itulah terbentuknya golongan/partai “Khawarij” dimana mereka membolehkan membunuh siapa saja diantara kaum Muslim yang tidak mau bergabung kepadanya, kerena mereka menganggap semua orang diluar golongan mereka adalah kafir dan murtad.

2.                Doktrin-doktrin Pokok
            Doktrin-doktrin pokok yang terdapat dalam golongan Khawarij dalam (Rozak dan Anwar, 2012: 65-66) adalah sebagai berikut:
a.         Pemilihan khalifah dilakukan secara demokratis, yaitu dengan melakukan pemilihan secara bebas dan tidak harus keturunan Arab selama ia memenuhi syarat,
b.        Khalifah yang terpilih berkuasa secara permanen selama ia bersikap adil dan tidak melakukan kezaliman,
c.         Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar, Umar dan Utsman) dianggap sah, tetapi setelah tahun ketujuh dari masa kekhalifahannya, Utsman dianggap melakukan penyelewengan,
d.        Begitu pula dengan khalifah Ali yang sebelumnya dianggap sah, dianggap melakukan penyelewengan setelah menerima tahkim/arbitrase,
e.         Orang-orang yang tidak sepaham dengan golongan Khawarij dianggap menyeleweng dan kafir (berdosa besar), dan siapa saja yang berdosa besar maka ia wajib dibunuh/dimusnahkan,
f.         Setiap Muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka,
g.        Seseorang harus menghindari pimpinan yang melakukan penyelewengan,
h.        Adanya wa’ad dan wa’id (orang yang baik harus masuk surga, sedangkan orang harus masuk ke dalam neraka),
i.          Amar ma’ruf nahi mungkar,
j.          Memalingkan ayat-ayat al-Qur’an yang samar (mustasyabihat),
k.        Al-Qur’an adalah makhluk,
l.          Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari Tuhan.
            Dari beberapa doktrin-doktrin yang disebutkan dapat ditarik kesimpulan bahwa doktrin-doktrin yang digunakan oleh golongan Khawarij adalah diantaranya doktrin politik, teologi dan teologi-sosial. Ketiga perihal ini dapat dilihat dari point-point yang membahas tentang seputar kekhalifahan/kepala negara yang berhubungan dengan kekuasaan dan kepemimpinan (politik), membahas tentang faham yang mereka yakini serta turut mengajak umat Muslim yang lain untuk ikut serta dalam faham yang mereka junjung (teologi dan sosial).

3.                Perkembangan Khawarij dan Sekte-sekte di Dalamnya
            Golongan Khawarij tumbuh setelah peperangan Shiffin. Setelah menyatakan keluar dari barisan Ali, kelompok ini lantas melakukan melakukan berbagai pemberontakan diantaranya mereka menyusun rencana untuk membunuh Ali ibn Abi Thalib, Mu’awiyah ibn Abu Sofyan, Abu Musa al-Asy’ari dan Amru ibn ‘Ash, yang mereka anggap kafir dan berdosa besar. Dari permasalahan utama yaitu tentang kekhalifahan kini merembet pada permasalahna kafir dan berdosa besar dimana golongan Khawarij terpecah menjadi beberapa sekte yang membuat mereka berbeda pendapat tentang kafir dan berdosa besarnya seseorang Muslim. Beberapa tokoh sepakat ada beberapa sekte diantaranya sebagai berikut:
·           Al-Muhakkimah
            Al-Muhakkimah adalah golongan Khawarij asli yang terdiri dari pengikut Ali sebelum tercampuri dengan orang-orang yang memiliki pendapat utama bagi Khawarij. Muhammad Ahmad (1998: 153) dalam bukunya menuliskan bahwa prinsip pendapat dari golongan Muhakkimah adalah soal arbitrase, di mana Ali, Mu’awiyah serta semua orang yang menyetujui arbitrase dianggap dosa besar dan akhirnya menjadi kafir.
·           Al-Azariqah
            Azariqah adalah golongan terbesar Khawarij yang dipimpin oleh Nafi’ ibn al-Azraq yang diberi gelar “Amir Al-Mukmin”. Pemikiran dan sikap Azariqah bersifat radikal. Harun Nasution dalam bukunya menuliskan bahwa golongan Azariqah ini tidak menggunakan faham kafir tetapi mengguankan faham musyrik atau polytheis, yang mana dalam Islam syirik adalah suatu dosa besar yang lebih besar dari kafir. Mereka juga menganggap bahwa golongan merekalah yang paling benar, sedangkan golongan di luar mereka salah (musyrik) dan harus diperangi bahkan anak-anak sekalipun.
·           An-Najdat
            Golongan An-Nadjat sebenarnya adalah golongan yang memisahkan diri dari golongan Azariqah yang di pimpin oleh Najdah ibn ‘Amir Al-Hanafi. Mereka memisahkan diri dari golongan Azariqah karena berbeda pendapat tentang permasalahan tidak berhijrahnya orang Azraqi ke dalam lingkungan Azariqah yang harus diperangi, dan tidak setujunya tentang bolehnya membunuh anak istri orang Islam yang tidak sepaham dengan Azariqah. Menurut golongan An-Nadjat seseorang yang berdosa besar kemudian menjadi kafir dan yang kekal di dalam neraka adalah orang Islam yang tak sepaham dengan golongannya, dimana apabila seseorang melakukan dosa besar, betul akan mendapat siksaan di dalam neraka kemudian akan masuk surga (Nasution, 1986: 17-18).
·           Al-‘Ajaridah
            ‘Ajaridah adalah golongan Khawarij yang lebih lunak lagi, dipimpin oleh ‘Abd Al-Karim ibn ‘Ajrad. Mereka berpendapat bahwa berhijrah bukanlah suatu kewajiban melainkan suatu kebajikan sebagaimana menurut Harun Nasution mengutip dari Al-Milal. Dengan demikian kaum ‘Ajaridah boleh tinggal di luar daerah kekuasaan mereka dengan tidak dianggap kafir. Di samping itu perihal mengenai ghanimah yang boleh diambil hanyalah harta orang yang telah meninggal.
·           Al-Sufriah
            Al-Sufriyah dipimpin oleh Ziad Ibn al-Asfar, golongan ini dekat dengan golongan Azariqah, tetapi mereka juga mempunyai pendapat yang berbeda dengan Azariqah, diantaranya adalah orang Sufriah yang tidak berhijrah tidak dianggap kafir dan mereka tidak setuju dengan perihal bolehnya membunuh anak-anak kaum musyrik. Golongan Sufriyah membagi perbuatan dosa besar menjadi dua golongan yaitu dosa yang ada sangsinya di dunia dan dosa yang tidak ada sangsinya di dunia. Golongan yang tidak sepaham dengan mereka lantas diperangi melainkan hanya ma’askar atau camp pemerintah dan anak-anak serta kaum wanita tidak boleh manjadi tawanan. Di samping itu Golongan Sufriyah dalam mengartikan kufr dibagi menjadi dua, yaitu kufr bin inkar al-ni’mah (mengingkari rahmat/nikmat Tuhan) dan kufr bin inkar al-rubbubiah (menginggakari Tuhan), dengan demikina seseorang seseorang di anggap kafir tidak selamanya keluar dari agama Islam.
·           Al-Ibadiyah
            Golongan Ibadiyah adalah golongan Khawarij yang paling moderat diantara golongan lain yang dipimpin oleh ‘Abdullah Ibn Ibad. Mereka mempunyai faham moderat sehingga seseorang yang tidak sepaham dengan mereka, mereka tidak menyebutnya mukmin dan juga musyrik melainkan kafir. Mereka juga beranggapan bahwa seseorang yang melakukan dosa besar tidaklah keluar dari Islam, dan harta rampasan perang yang boleh diambil hanya kuda dan senjata saja.
            Faham-Faham inilah yang membuat golongan Ibadiyah tidak ikut serta dengan golongan Azariqah untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintahan Dinasti Bani Ummayah.

4.                Tokoh Khawarij
·           Nafi’ ibn Azraq Al-Hanafi
            Nafi’ ibn Azraq al-Hanafi adalah tokoh Khawarij yang memimpin golongan Azariqah yang terkenal sangat radikal, selama tinggal di Basrah dia mengeluarkan hukum-hukum terhadap penduduk yang enggan membantunya dimana semua penduduk yang tidak membantu gerakan mereka di pandang musyrik dan harus diperangi dan haram untuk berhubungan dengan mereka dalam berbagai hal. Mereka juga menentukan hukum bagi pezina muhshan boleh tidak dirajam dan mewajibkan hukum had atas orang yang menuduh wanita muhshanah berzina dan juga tidak dikenakan hukuman had atas penuduh yang menuduh lelaki yang muhshan (Ash-Shiddieqy, 2009: 134-135).


B.               Murji’ah
1.                Latar Belakang Kemunculan
            Konflik yang terjadi semasa kepemimpinan saiyidina Ali saat menjadi Khalifah yang ditentang oleh Mu’awiyah menjadikan umat Muslim saling beradu pedang yang mengakibatkan pengikut Ali sendiri terpecah menjadi dua kubu, yaitu golongan pro Ali yang disebut Syi’ah dan golongan kontra terhadap Ali disebut Khawarij. Dua golongan ini saling mempertahankan faham-faham yang mereka anggap benar.
            Sebagaimana yang ditulis Harun Nasution (1986: 24) bahwa dalam suasana pertentangan serupa inilah, muncul golongan baru yang ingin bersikap netral dan tidak mau saling kafir-mengkafirkan sebagaimana yang terjadi diantara dua golongan tersebut. Mereka juga berpendapat bahwa golongan-golongan yang melakukan perseteruan adalah golongan-golangan yang dapat dipercaya dan tidak keluar dari jalan yang benar. Oleh karena itu golongan baru ini sama sekali tidak mengeluarkan pendapat tentang siapa yang salah ataupun kafir, dan golongan ini lebih untuk menunda (arja’a) penyelesaian di pengadilan Allah kelak.
            Sikap penundaan yang dilakukan oleh golongan baru inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan kaum Murji’ah. Pada mulanya kaum Murji’ah tidak ikut campur dengan perihal penentuan hukum kafir, tetapi mau tidak mau penentuan hukum kafir yang dilakukan oleh kaum Khawarij menjadi pembahasan mereka pula. Apabila kaum Khawarij lebih cenderung membahas tentang siapa yang kafir dan keluar dari Islam, lain halnya dengan kaum Murji’ah yang lebih cenderung kepada penundaan terhadap dosa besar yang dilakukan seseorang untuk ditangguhkan di hari perhitungan kelak, dimana seseorang yang melakukan dosa besar menurut kaum Murji’ah orang tersebut tetap mukmin dan tidak kafir. Dari persepsi inilah Harun Nasution dalam bukunya menulis bahwa kaum Murji’ah lebih mengutamakan iman seseorang dari amal perbuatannya.
            Dapat disimpulkan bahwa nama Murji’ah berasal dari kata irja’ atau arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan, dan pengharapan (Rozak dan Anwar, 2012: 70). Ada pula beberapa pendapat yang dikutip oleh Harun Nasution bahwa nama Murji’ah diberikan kepada suatu kaum, bukan karena kaum tersebut menunda penentuan hukum terhadap orang Islam yang berdosa besar kepada Allah dan bukan pula karena mereka memandang bahwa iman lebih utama daripada amal perbuatan, tetapi mereka lebih memberi pengharapan bagi orang yang melakukan dosa besar untuk masuk surga.
           
2.                Doktrin-doktrin Pokok
            Doktrin-doktrin yang terdapat dalam kaum Murji’ah dapat digolongkan menjadi dua bidang, yaitu bidang politik dan bidang teologi. Di bidang politik kaum Murji’ah memilih sikap netral terhadap politik atau nonblok, yang diekspresikan dengan sikap diam. Sedangkan dalam bidang teologi kaum Murji’ah membahas persoalan yang sifatnya semakin kompleks seperti iman, kufur, dosa besar serta ringan dan lain-lain.
            Menurut Harun Nasution yang di kutip oleh Rozak dan Anwar (2012: 73) doktrin-doktrin teologi Murji’ah sebagai berikut:
·           Menunda hukman atas Ali, Mu’awiyah, Am bin Ash, dan Abu Musa al-Asy’ari yang terlibat tahkim hingga kepada Allah pada hari kiamat kelak;
·           Menyerahkan keputusan kepada Allah SWT atas orang Muslim yang berdosa besar;
·           Meletakkan (pentingnya) iman lebih utama dari pada amal;
·           Memberikan pengharapan kepada Muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah SWT.
            Ada pendapat lain seperti dari Abu A’la  al-Mududi yang menyebutkan bahwa hanya ada dua doktrin pokok pada kaum Murji’ah, yaitu arti iman dan dasar keselamatan dengan iman semata. Arti iman menurut al-Maududi adalah cukup dengan percaya kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, bisa dikatakan bahwa orang Islam yang berdosa besar dianggap masih mukmin walaupun meninggalkan apa yang difardukan kepadanya. Sedangkan maksud dari dasar keselamatan adalah dengan iman semata adalah selama masih ada iman di dalam hatinya dan cukup ia menghindar dari syirik dan meninggal dalam keadaan tauhid.

3.                Perkembangan Murji’ah dan Sekte-sekte di Dalamnya
            Di dalam golongan Murji’ah juga tak luput dari perpecahan golongan sama seperti golongan Khawarij. Perpecahan yang terjadi pada golongan ini disebabkan karena adanya perbedaan pendapat. Beberapa tokoh seperti Watt menyebutkan bahwa sekte-sekte Murji’ah di bagi mnejadi lima sekte, yaitu:
·           Murji’ah Khawarij,
·           Murji’ah Qadariah
·           Murji’ah Jabariah
·           Murji’ah Murni
·           Murji’ah Sunni (tokohnya adalah Abu Hanifah)
            Ada tokoh lain yang berpendapat seperti Muhammad Imarah, yang menyebutkan Murji’ah dibagi menjadi 12 sekte, yaitu
·           Al-Jahmiyah, pengikut Jahm bin Shafwan,
·           Ash-Shalihiyah, pengikut Abu Musa ash-Shalahiy,
·           Al-Yunusshiyah, pengikut Yunus as-Samary,
·           Asy-Syamriayah, pengikut Abu Samr dan Yunus,
·           Asy-Syawbaniyah, pengikut Abu Shawban,
·           Al-Ghailaniyah, pengikut Abu Marwan al-Ghai bin marwan ad-Dimsaqy,
·           An-Najariyah, pengikut al-Husain bin Muhammad an-Najr,
·           Al- Hanafiyah, pengikut abu Hanifah an-Nu’man,
·           Asy-Syabibiyah, pengikut Muhammad bin Shabib,
·           Al-Mu’aziyah, pengikut Mu’adz ath-Thawmy,
·           Al-Murisiyah, pengikut Basr-al-Murisy,
·           Al-Karamiyah, pengikut muhammad bin Karam as-Sijistany.
            Sebagaimana al-Baghdadi yang dikutip oleh Harun Nasution bahwa golongan Murji’ah secara umum dibagi menjadi dua golangan besar, yaitu golongan Murji’ah Moderat dan Murji’ah Ekstrim.
·           Golongan Moderat
            Golongan Moderat adalah golongan yang berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal di dalam neraka. Mereka berpendapat bahwa hukuman di dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya. Mereka berpendapat bahwa kemungkinan Allah akan mengampuni dosanya dan orang tersebut tidak masuk neraka selamanya. Penggagas dalam golongan ini adalah Al-Hasan ibn Muhammad ibn Ali ibn Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan beberapa ahli hadis lainnya.
            Menurut Abu Hanifah bahwa iman semua orang Islam itu sama, tidak ada perbedaan antara iman orang Islam yang berdosa besar dan iman orang Islam yang patuh menjalankan perintah-perintah Allah, sehingga iman seseorang itu tidak bertambah ataupun berkurang (Nasution, 1986: 27).
·           Golongan Ekstrim
            Golongan Ekstrim menurut Ali Subelih (dalam Nasution, 1986: 28) bahwa orang Islam yang percaya kepada Tuhan dan Rasul-Nya dan kemudian menyatakan kekufuran baik secara lisan tidak menjadikan orang tersebut kafir, karena iman itu letaknya di dalam hati, bukan di bagian tubuh yang lain. Pengikut Al-Hasan berpendapat bahwa iman itu mengetahui Tuhan dan kafir tidak tahu Tuhan, sehingga segala sesuatu yang diperintahkan untuk wajib dijalankan seperti shalat, zakat, puasa dan haji itu bukan termasuk ke dalam ibadah kepada Allah, tetapi merupakan sebagai bentuk kepatuhan semata.
            Menurut Harun Nasution (dalam Rozak dan Anwar, 2012: 75) bahwa golongan Ekstrim ini dibagi menjadi 4 sekte, yaitu:
a.        Jahmiyah
Jahmiyah adalah kelompok Jahm bin Shafwan dan para pengikiutnya, yang berpandangan orang yang percaya kepada Tuhan dan kemudian menyatakan kekufurannya secara lisan tidak menjadi kafir karena iman dan kufur tempatnya di dalam hati, bukan di bagian lain dalam tubuh manusia.
b.        Shalihiyah
Adalah kelompok Abu Hasan Ash-Shalihi yang berpendapat bahwa iman adalah mengetahui Tuhan dan kufur tidak tahu Tuhan. Shalat bukan merupakan ibadah kepada Allah SWT. Oleh karena segala sesuatu dalam bentuk amal perbuatan yang diperintahkan bukanlah ibadah melainkan suatu bentuk kepatuhan.
c.         Yunusiah dan Ubaidiyah
Kedua kelompok ini melontarkan pendapat bahwa seseorang yang melakukan maksiat tidak merusak iman seseorang. Mati dalam keadaan iman atau pun melakukan dosa besar sama sekali tidak berpengaruh terhadap yang bersangkutan. Dalam hal ini, Muqatil bin Sulaiman berpendapat bahwa perbuatan jahat banyak atau sedikit tidak merusak iman seseorang sebagai musyrik atau pholitheis.
d.        Hasaniyah
Golongan ini berpendapat apabila seseorang mengatakan, “Saya tahu Tuhan melarang makan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan adalah babi ini”. Orang yang berkata demikian tetap mukmin, bukan kafir. Begitu pula orang yang mengatakan , “Saya tahu Tuhan mewajibkan naik haji ke Kakbah, tetapi saya tidak tahu apakah Kakbah di India atau di tempat lain.

4.            Tokoh Murji’ah
·                Abu Hanifah
            Beliau lahir di Anbar tahun 80 H/699M dengan nama lengkap Abu Hanifah al-Nu’man ibn Tsabit ibn Zutha al-Kufi. Abu Hanifah tumbuh di kota Kufah. Beliau juga pernah mengembara ke Basrah, Mekkah dan Madina dalam rangka mngembangkan wawasan dan memperluas ilmu pengetahuan yang telah diperolehnya (Fauzan, 2015: http://fauzanppsi.blogspot.com).
            Pandangan beliau tentang faham Murji’ah yaitu dimana beliau mempunyai pendapat bahwa iman  ialah pengetahuan dan pengakuan tentang Tuhan, tentang Rasul-Nya dan tentang segala apa yang datang dari Tuhan dalam keseluruhan dan tidak dalam perincian; iman tidak mempunyai sifat bertambah atau berkurang dan tidak ada perbedaan antara manusia dalam hal iman. Faham yang disampaikan oleh Abu Hanifah inilah yang menjadi faham bagi kaum Murji’ah pada umumnya dan Murji’ah moderat khususnya.
·           Jahm bin Sufwan
            Jahm bin sufwan dilahitkan di kota Kufah, tetapi menetap di Khurasan di Tirmidh. Beliau belajar dibawah asuhan al-Ja’ad bin Dirham, seorang sekertarian dari Harran di Suriah (Prasetyo, 2015: http://prasetyo-teguh,blogspot.com). Peran beliau dalam golongan Murjia’ah yakni pendapat beliau tentang seorang Muslim yang iman kepada Tuhannya tetapi Mukmin itu menyatakan kekufuran secara lisan, maka dia bukanlah kafir. Pendapat inilah yang menjadi faham yang terus dijunjung oleh kaum Murji’ah ekstrim  khususnya.

III.            Penutup
            Pada dasarnya munculnya golongan-golongan dalam Islam inilah persoalan tentang orang berbuat dosa yang kemudian mempunyai pengaruh besar terhadap pertumbuhan ilmu kalam atau teologi Islam sehingga menimbulkan tiga aliran teologi Islam yaitu Khawarij, Murji’ah dan Mu’tazilah. Bahkan dalam itu pun muncul lagi dua aliran dalam teologi yang terkenal dengan nama Al-Qodariah dan Al-Jabariah (Nasution, 1986: 9). Oleh karenanya setelah adanya pembahasan tentang beberapa di antara aliran-aliran tersebut, kita dapat mengetahui tentang faham-faham yang mereka anut sehingga kita juga tahu termasuk dalam kelompok manakah kita, apakah salah satu, dua atau semuanya baik secara sadar ataupun tidak sadar. Akan tetapi mengenai aliran-aliran yang dibahas sebelumnya, dimana aliran Khawarij menurut Harun nasution (1986: 23) bahwa golongan-golongan Khawarij yang ektrim dan radikal, sungguhpun mereka sebagai golongan telah hilang dalam sejarah, tetapi ajaran-ajaran ekstrim mereka masih mempunyai pengaruh walaupun tidak banyak dalam kehidupan masyarakat Islam sekarang.          Begitu pula dengan aliran Murji’ah moderat dan ekstrim, Murjiah moderat sebagai golongan yang berdiri sendiri telah hilang dalam sejarah tetapi ajaran-ajaran mereka mengenai iman, kufur dan dosa besar masuk ke dalam aliran Ahli Sunnah dan Jama’ah. Adapun  golongan Murji’ah ekstrim, mereka juga telah hilang sebagai aliran yang berdiri sendiri, tetapi tidak lantas praktek-praktek faham mereka ikut hilang (Nasution, 1986: 32).




BIBLIOGRAFI

Ahmad, Muhammad. 1998. Tauhid-Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia.

Ash-Shiddieqy, Teuku Muhammad. 2009. Sejarah & Pengantar Ilmu Tauhid         (Kalam). Semarang: Pustaka Riski Putra.

Fauzan. Siroju Ummatil Islam. http://fauzanppsi.blogspot.com, diakses 18 maret    2015.

Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam: aliran-aliran, sejarah analisa dan    perbandingan. Jakarta: (UI-Press).

Prasetyo, Teguh. Pemikiran Jahm bin Sofyan. http://prasetyo-teguh.blogspot.com, diakses 18 Maret 2015.

Rozak dan Anwar. 2012. Ilmu Kalam. (Ed) Revisi. Bandung: Pustaka Setia.

Syalabi, A. 1983. Sejarah dan Kebudayaan Islam 2. Cetakan IV. Jakarta: Pustaka al-husna.