I.
Pendahuluan
Kekuasaan adalah sesuatu yang amat
sangat mendapat perhatian lebih oleh setiap makhluk-Nya. Tuhan memiliki
kekuasaan dengan semua apa yang diciptakannya, bahkan di hutan sekalipun ada
yang merasa menguasai. Hal ini pun tak luput dari kekuasaan manusia di dunia,
oleh karena manusia sudah merasa dirinya unggul bahkan lebih unggul dari
malaikat yang diberikan kelebihan berupa akal untuk berfikir. Dalam dunia
politik kekuasaan dianggap menjadi nomor satu untuk dapat menjadi seorang penguasa,
hal ini mulai terjadi setelah Rasulullah SAW wafat. Setelah beliau meninggal,
beliau digantikan oleh Abu Bakar, hal ini sama dengan apa yang ditulis oleh
Harun Nasution (1986: 5-6) dalam bukunya bahwa Abu Bakar adalah khalifah
yang disetujui oleh masyarakat Islam sebagai pengganti Nabi menjadi khalifah
di negara mereka (Madinah) pada waktu itu. Kemudian setelah Abu Bakar, ia
digantikan oleh Umar, Umar oleh Utsman. Di masa kepemimpinan Utsman inilah
praktik-praktik politik mulai terjadi diantaranya adalah tindakan Utsman
mengangkat orang-orang dari keluarganya menjadi pemimpin daerah (Gubernur).
Dari tindakan Utsman ini menimbulkan reaksi tidak senang oleh masyarakat pada
waktu itu, sehingga mengakibatkan terbunuhnya Utsman oleh para pemberontak.
Perpecahan dan pemberontakan mulai
muncul, hal ini juga diperkuat dengan terpilihnya Ali sebagai khalifah
pengganti Utsman. Sebagian dari mereka tidak setuju Ali yang terpilih,
peperangan pun menjadi salah satu jalan keluar untuk menentukan siapa yang berhak
berkuasa, salah satunya adalah pemberontakan yang dilakukan oleh Mu’awiyah.
Mu’awiyah merasa dirinyalah yang paling berhak atas kedudukan sebagai khalifah
pengganti Utsman, karena dia adalah keluarga dekat Utsman. Saat peperangan
berlangsung ternyata kemenangan hampir saja digondol Ali, Mu’awiyah oleh tangan
kanannya melakuakan siasat utuk mencegah kemenangan Ali yaitu dengan ber-tahkim
pada al-Qur’an, setelah melakukan tahkim kemenangan pun berpindah ke
tangan Mu’awiyah.
Di masa ini pula munculnya beberapa
golongan yang membentuk suatu faham yang sesuai dengan apa yang mereka yakini.
Persoalan-persoalan yang terjadi dalam lapangan politik, akhirnya membawa
kepada timbulnya persoalan-persoalan teologi (Nasution, 1986: 8).
II.
Pembahasan
A.
Khawarij
1.
Latar Belakang Kemunculan
Pada perang Shiffin tepatnya pada
tahun 37 H/648 M yang melibatkan perseteruan antara Ali bin Abi Thalib dengan
kelompok bughat (pemberontakan) yang dipimpin oleh Mu’awiyah bin Abi
Sufyan perihal persengketaan khilafah. Perang inilah yang menjadi sebab
adanya kelompok Khawarij karena sikap Ali yang menerima tahkim yang
diajukan oleh pihak Mu’awiyah. Hal ini diperjelas lagi oleh Teuku Muhammad
Hasbi Ash-Shiddieqy (2009: 128) bahwa nama Khawarij diberikan kepada
pengikut Ali yang keluar dari barisan di waktu Ali menerima tahkim dari
Mu’awiyah dalam pertempuran Shiffin. Mereka disebut Khawarij, karena
mereka keluar
dari rumah-rumah mereka dengan maksud berjihad di jalan Allah, hal ini sesuai dengan firman Allah:
وَمَن
يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللّهِ يَجِدْ فِي الأَرْضِ مُرَاغَماً كَثِيراً وَسَعَةً
وَمَن يَخْرُجْ مِن بَيْتِهِ مُهَاجِراً إِلَى اللّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ
يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلى اللّهِ وَكَانَ اللّهُ غَفُوراً
رَّحِيماً -١٠٠-
Artinya:
“Dan barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka akan mendapatkan di
bumi ini tempat hijrah yang luas dan (rezeki) yang banyak. Barangsiapa keluar
dari rumahnya dengan maksud berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian
menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh, pahalanya
telah ditetapkan di sisi Allah. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang” (Qs. An-Nisa
[4]: 100).
Mereka juga disebut Syurah,
karena mereka telah menganggap bahwa diri mereka telah mereka jual kepada
Allah, Allah berfirman:
وَمِنَ
النَّاسِ مَن يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاء مَرْضَاتِ اللّهِ وَاللّهُ رَؤُوفٌ
بِالْعِبَادِ -٢٠٧-
Artinya:
“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya untuk mencari
keridaan Allah. Dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya” (Qs. Al-Baqarah
[2]: 207).
Ada sebutan lagi untuk mereka yaitu Haruriyah,
karena mereka pergi berlindung di suatu kota kecil dekat Kufah yang bernama
Harura, dan mereka juga dinamakan Muhakkimah karena selalu menggunakan
semboyan La hukma illa lillah (tidak ada hukum kecuali dari Allah).
Kata Khawarij sendiri secara
bahasa (etimologi) berasal dari bahasa Arab Kharaja yang berarti keluar,
muncul, timbul, atau memberontak, sedangkan menurut istilah (terminologi) ilmu
kalam adalah suatu sekte/kelompok/aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang
keluar meninggalkan barisan karena tidak sepakat terhadap Ali yang menerima tahkim
dari Mu’awiyah (Rozak dan Anwar, 2012: 63-64).
Menurut Shalabi (1983: 309-317)
dalam pertempuran Shiffin saat golongan Ali hampir mendapatkan kemenangannya,
Mu’awiyah lantas mengalihkan perjuangan ke medan lain dimana Ali tidak mungkin
menandinginya yaitu medan siasat dan tipudaya. Para prajurit Mu’awiyah
mengangkat musyaf-musyaf mereka di ujung tombak dengan menyeru untuk ber-tahkim
pada al-Qur’an. Ali merasa bahwa itu adalah tipu muslihat musuh, akan tetapi
pedang-pedang tentaranya sudah tumpul seakan mereka telah menantikan seruan itu
dengan kesabaran yang hampir habis, akhirnya dengan sangat terpaksa Ali
menerima arbitrase (tahkim),
dengan mengirimkan Abu Musa al Asy’ari dari pihak Ali dan Amru ibnu ‘Ash dari
pihak Mu’awiyah. Kemudian datanglah saatnya untuk melaksanakan tahkim,
hakim-hakim dari kedua pihak telah berkumpul di Daumul Jandal dengan hasil yang
sangat mengecewakan, karena Abu Musa bukanlah tandingan Amru ibnu ‘Ash yang
ahli dalam bersiasat. Dari hasil tahkim inilah sebagian pihak dari Ali
sangat kecewa dan akhirnya mereka memisahkan diri dari barisan Ali yang kemudian
dikenal dengan golongan “Khawarij”, mereka menganggap apa yang dilakukan
Ali adalah salah karena menerima tahkim, begitu pula dengan apa yang
dilakukan oleh Mu’awiyah karena dia telah menurunkan khalifah yang sah.
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa pada saat itulah terbentuknya
golongan/partai “Khawarij” dimana mereka membolehkan membunuh siapa saja
diantara kaum Muslim yang tidak mau bergabung kepadanya, kerena mereka
menganggap semua orang diluar golongan mereka adalah kafir dan murtad.
2.
Doktrin-doktrin Pokok
Doktrin-doktrin pokok yang terdapat
dalam golongan Khawarij dalam (Rozak dan Anwar, 2012: 65-66) adalah
sebagai berikut:
a.
Pemilihan khalifah dilakukan
secara demokratis, yaitu dengan melakukan pemilihan secara bebas dan tidak
harus keturunan Arab selama ia memenuhi syarat,
b.
Khalifah yang terpilih berkuasa secara
permanen selama ia bersikap adil dan tidak melakukan kezaliman,
c.
Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar, Umar dan
Utsman) dianggap sah, tetapi setelah tahun ketujuh dari masa kekhalifahannya,
Utsman dianggap melakukan penyelewengan,
d.
Begitu pula dengan khalifah
Ali yang sebelumnya dianggap sah, dianggap melakukan penyelewengan setelah
menerima tahkim/arbitrase,
e.
Orang-orang yang tidak sepaham
dengan golongan Khawarij dianggap menyeleweng dan kafir (berdosa besar),
dan siapa saja yang berdosa besar maka ia wajib dibunuh/dimusnahkan,
f.
Setiap Muslim harus berhijrah dan
bergabung dengan golongan mereka,
g.
Seseorang harus menghindari pimpinan
yang melakukan penyelewengan,
h.
Adanya wa’ad dan wa’id
(orang yang baik harus masuk surga, sedangkan orang harus masuk ke dalam
neraka),
i.
Amar ma’ruf nahi mungkar,
j.
Memalingkan ayat-ayat al-Qur’an yang
samar (mustasyabihat),
k.
Al-Qur’an adalah makhluk,
l.
Manusia bebas memutuskan
perbuatannya bukan dari Tuhan.
Dari beberapa doktrin-doktrin yang
disebutkan dapat ditarik kesimpulan bahwa doktrin-doktrin yang digunakan oleh
golongan Khawarij adalah diantaranya doktrin politik, teologi dan
teologi-sosial. Ketiga perihal ini dapat dilihat dari point-point yang
membahas tentang seputar kekhalifahan/kepala negara yang berhubungan
dengan kekuasaan dan kepemimpinan (politik), membahas tentang faham yang mereka
yakini serta turut mengajak umat Muslim yang lain untuk ikut serta dalam faham
yang mereka junjung (teologi dan sosial).
3.
Perkembangan Khawarij dan Sekte-sekte di Dalamnya
Golongan Khawarij tumbuh
setelah peperangan Shiffin. Setelah menyatakan keluar dari barisan Ali,
kelompok ini lantas melakukan melakukan berbagai pemberontakan diantaranya
mereka menyusun rencana untuk membunuh Ali ibn Abi Thalib, Mu’awiyah ibn Abu
Sofyan, Abu Musa al-Asy’ari dan Amru ibn ‘Ash, yang mereka anggap kafir dan
berdosa besar. Dari permasalahan utama yaitu tentang kekhalifahan kini
merembet pada permasalahna kafir dan berdosa besar dimana golongan Khawarij
terpecah menjadi beberapa sekte yang membuat mereka berbeda pendapat tentang
kafir dan berdosa besarnya seseorang Muslim. Beberapa tokoh sepakat ada
beberapa sekte diantaranya sebagai berikut:
·
Al-Muhakkimah
Al-Muhakkimah adalah golongan
Khawarij asli yang terdiri dari pengikut Ali sebelum tercampuri dengan
orang-orang yang memiliki pendapat utama bagi Khawarij. Muhammad Ahmad
(1998: 153) dalam bukunya menuliskan bahwa prinsip pendapat dari golongan Muhakkimah
adalah soal arbitrase, di mana Ali, Mu’awiyah serta semua orang yang
menyetujui arbitrase dianggap dosa besar dan akhirnya menjadi kafir.
·
Al-Azariqah
Azariqah adalah golongan
terbesar Khawarij yang dipimpin oleh Nafi’ ibn al-Azraq yang diberi
gelar “Amir Al-Mukmin”. Pemikiran dan sikap Azariqah bersifat
radikal. Harun Nasution dalam bukunya menuliskan bahwa golongan Azariqah
ini tidak menggunakan faham kafir tetapi mengguankan faham musyrik atau polytheis,
yang mana dalam Islam syirik adalah suatu dosa besar yang lebih
besar dari kafir. Mereka juga menganggap bahwa golongan merekalah yang paling
benar, sedangkan golongan di luar mereka salah (musyrik) dan harus
diperangi bahkan anak-anak sekalipun.
·
An-Najdat
Golongan An-Nadjat sebenarnya
adalah golongan yang memisahkan diri dari golongan Azariqah yang di
pimpin oleh Najdah ibn ‘Amir Al-Hanafi. Mereka memisahkan diri dari golongan Azariqah
karena berbeda pendapat tentang permasalahan tidak berhijrahnya orang Azraqi ke
dalam lingkungan Azariqah yang harus diperangi, dan tidak setujunya
tentang bolehnya membunuh anak istri orang Islam yang tidak sepaham dengan Azariqah.
Menurut golongan An-Nadjat seseorang yang berdosa besar kemudian menjadi
kafir dan yang kekal di dalam neraka adalah orang Islam yang tak sepaham dengan
golongannya, dimana apabila seseorang melakukan dosa besar, betul akan mendapat
siksaan di dalam neraka kemudian akan masuk surga (Nasution, 1986: 17-18).
·
Al-‘Ajaridah
‘Ajaridah adalah golongan Khawarij
yang lebih lunak lagi, dipimpin oleh ‘Abd Al-Karim ibn ‘Ajrad. Mereka
berpendapat bahwa berhijrah bukanlah suatu kewajiban melainkan suatu kebajikan
sebagaimana menurut Harun Nasution mengutip dari Al-Milal. Dengan demikian kaum
‘Ajaridah boleh tinggal di luar daerah kekuasaan mereka dengan tidak
dianggap kafir. Di samping itu perihal mengenai ghanimah yang boleh
diambil hanyalah harta orang yang telah meninggal.
·
Al-Sufriah
Al-Sufriyah dipimpin oleh
Ziad Ibn al-Asfar, golongan ini dekat dengan golongan Azariqah, tetapi
mereka juga mempunyai pendapat yang berbeda dengan Azariqah, diantaranya
adalah orang Sufriah yang tidak berhijrah tidak dianggap kafir dan
mereka tidak setuju dengan perihal bolehnya membunuh anak-anak kaum musyrik.
Golongan Sufriyah membagi perbuatan dosa besar menjadi dua golongan
yaitu dosa yang ada sangsinya di dunia dan dosa yang tidak ada sangsinya di
dunia. Golongan yang tidak sepaham dengan mereka lantas diperangi melainkan
hanya ma’askar atau camp pemerintah dan anak-anak serta kaum
wanita tidak boleh manjadi tawanan. Di samping itu Golongan Sufriyah dalam
mengartikan kufr dibagi menjadi dua, yaitu kufr bin inkar al-ni’mah (mengingkari
rahmat/nikmat Tuhan) dan kufr bin inkar al-rubbubiah (menginggakari
Tuhan), dengan demikina seseorang seseorang di anggap kafir tidak selamanya
keluar dari agama Islam.
·
Al-Ibadiyah
Golongan Ibadiyah adalah
golongan Khawarij yang paling moderat diantara golongan lain yang
dipimpin oleh ‘Abdullah Ibn Ibad. Mereka mempunyai faham moderat sehingga
seseorang yang tidak sepaham dengan mereka, mereka tidak menyebutnya mukmin dan
juga musyrik melainkan kafir. Mereka juga beranggapan bahwa seseorang yang
melakukan dosa besar tidaklah keluar dari Islam, dan harta rampasan perang yang
boleh diambil hanya kuda dan senjata saja.
Faham-Faham inilah yang membuat
golongan Ibadiyah tidak ikut serta dengan golongan Azariqah untuk
melakukan perlawanan terhadap pemerintahan Dinasti Bani Ummayah.
4.
Tokoh Khawarij
·
Nafi’ ibn Azraq Al-Hanafi
Nafi’ ibn Azraq al-Hanafi adalah
tokoh Khawarij yang memimpin golongan Azariqah yang terkenal sangat radikal,
selama tinggal di Basrah dia mengeluarkan hukum-hukum terhadap penduduk yang
enggan membantunya dimana semua penduduk yang tidak membantu gerakan mereka di
pandang musyrik dan harus diperangi dan haram untuk berhubungan dengan
mereka dalam berbagai hal. Mereka juga menentukan hukum bagi pezina muhshan
boleh tidak dirajam dan mewajibkan hukum had atas orang yang menuduh
wanita muhshanah berzina dan juga tidak dikenakan hukuman had atas
penuduh yang menuduh lelaki yang muhshan (Ash-Shiddieqy, 2009: 134-135).
B.
Murji’ah
1.
Latar Belakang Kemunculan
Konflik yang terjadi semasa
kepemimpinan saiyidina Ali saat menjadi Khalifah yang ditentang oleh Mu’awiyah
menjadikan umat Muslim saling beradu pedang yang mengakibatkan pengikut Ali
sendiri terpecah menjadi dua kubu, yaitu golongan pro Ali yang disebut Syi’ah
dan golongan kontra terhadap Ali disebut Khawarij. Dua golongan ini
saling mempertahankan faham-faham yang mereka anggap benar.
Sebagaimana yang ditulis Harun
Nasution (1986: 24) bahwa dalam suasana pertentangan serupa inilah, muncul
golongan baru yang ingin bersikap netral dan tidak mau saling
kafir-mengkafirkan sebagaimana yang terjadi diantara dua golongan tersebut.
Mereka juga berpendapat bahwa golongan-golongan yang melakukan perseteruan
adalah golongan-golangan yang dapat dipercaya dan tidak keluar dari jalan yang
benar. Oleh karena itu golongan baru ini sama sekali tidak mengeluarkan
pendapat tentang siapa yang salah ataupun kafir, dan golongan ini lebih untuk
menunda (arja’a) penyelesaian di pengadilan Allah kelak.
Sikap penundaan yang dilakukan oleh
golongan baru inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan kaum Murji’ah.
Pada mulanya kaum Murji’ah tidak ikut campur dengan perihal penentuan
hukum kafir, tetapi mau tidak mau penentuan hukum kafir yang dilakukan oleh
kaum Khawarij menjadi pembahasan mereka pula. Apabila kaum Khawarij
lebih cenderung membahas tentang siapa yang kafir dan keluar dari Islam, lain
halnya dengan kaum Murji’ah yang lebih cenderung kepada penundaan
terhadap dosa besar yang dilakukan seseorang untuk ditangguhkan di hari
perhitungan kelak, dimana seseorang yang melakukan dosa besar menurut kaum Murji’ah
orang tersebut tetap mukmin dan tidak kafir. Dari persepsi inilah Harun
Nasution dalam bukunya menulis bahwa kaum Murji’ah lebih mengutamakan
iman seseorang dari amal perbuatannya.
Dapat disimpulkan bahwa nama Murji’ah
berasal dari kata irja’ atau arja’a yang bermakna penundaan,
penangguhan, dan pengharapan (Rozak dan Anwar, 2012: 70). Ada pula beberapa
pendapat yang dikutip oleh Harun Nasution bahwa nama Murji’ah diberikan
kepada suatu kaum, bukan karena kaum tersebut menunda penentuan hukum terhadap
orang Islam yang berdosa besar kepada Allah dan bukan pula karena mereka
memandang bahwa iman lebih utama daripada amal perbuatan, tetapi mereka lebih
memberi pengharapan bagi orang yang melakukan dosa besar untuk masuk surga.
2.
Doktrin-doktrin Pokok
Doktrin-doktrin yang terdapat dalam
kaum Murji’ah dapat digolongkan menjadi dua bidang, yaitu bidang politik
dan bidang teologi. Di bidang politik kaum Murji’ah memilih sikap netral
terhadap politik atau nonblok, yang diekspresikan dengan sikap diam. Sedangkan
dalam bidang teologi kaum Murji’ah membahas persoalan yang sifatnya
semakin kompleks seperti iman, kufur, dosa besar serta ringan dan lain-lain.
Menurut Harun Nasution yang di kutip
oleh Rozak dan Anwar (2012: 73) doktrin-doktrin teologi Murji’ah sebagai
berikut:
·
Menunda hukman atas Ali, Mu’awiyah,
Am bin Ash, dan Abu Musa al-Asy’ari yang terlibat tahkim hingga kepada
Allah pada hari kiamat kelak;
·
Menyerahkan keputusan kepada Allah
SWT atas orang Muslim yang berdosa besar;
·
Meletakkan (pentingnya) iman lebih
utama dari pada amal;
·
Memberikan pengharapan kepada Muslim
yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah SWT.
Ada pendapat lain seperti dari Abu
A’la al-Mududi yang menyebutkan bahwa
hanya ada dua doktrin pokok pada kaum Murji’ah, yaitu arti iman dan dasar
keselamatan dengan iman semata. Arti iman menurut al-Maududi adalah cukup
dengan percaya kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, bisa dikatakan bahwa orang Islam
yang berdosa besar dianggap masih mukmin walaupun meninggalkan apa yang difardukan
kepadanya. Sedangkan maksud dari dasar keselamatan adalah dengan iman semata
adalah selama masih ada iman di dalam hatinya dan cukup ia menghindar dari syirik
dan meninggal dalam keadaan tauhid.
3.
Perkembangan Murji’ah dan Sekte-sekte di Dalamnya
Di dalam golongan Murji’ah
juga tak luput dari perpecahan golongan sama seperti golongan Khawarij.
Perpecahan yang terjadi pada golongan ini disebabkan karena adanya perbedaan
pendapat. Beberapa tokoh seperti Watt menyebutkan bahwa sekte-sekte Murji’ah
di bagi mnejadi lima sekte, yaitu:
·
Murji’ah Khawarij,
·
Murji’ah Qadariah
·
Murji’ah Jabariah
·
Murji’ah Murni
·
Murji’ah Sunni (tokohnya
adalah Abu Hanifah)
Ada tokoh lain yang berpendapat
seperti Muhammad Imarah, yang menyebutkan Murji’ah dibagi menjadi 12
sekte, yaitu
·
Al-Jahmiyah, pengikut Jahm bin Shafwan,
·
Ash-Shalihiyah, pengikut Abu
Musa ash-Shalahiy,
·
Al-Yunusshiyah, pengikut
Yunus as-Samary,
·
Asy-Syamriayah, pengikut Abu
Samr dan Yunus,
·
Asy-Syawbaniyah, pengikut Abu
Shawban,
·
Al-Ghailaniyah, pengikut Abu
Marwan al-Ghai bin marwan ad-Dimsaqy,
·
An-Najariyah, pengikut
al-Husain bin Muhammad an-Najr,
·
Al- Hanafiyah, pengikut abu
Hanifah an-Nu’man,
·
Asy-Syabibiyah, pengikut
Muhammad bin Shabib,
·
Al-Mu’aziyah, pengikut
Mu’adz ath-Thawmy,
·
Al-Murisiyah, pengikut
Basr-al-Murisy,
·
Al-Karamiyah, pengikut
muhammad bin Karam as-Sijistany.
Sebagaimana al-Baghdadi yang dikutip
oleh Harun Nasution bahwa golongan Murji’ah secara umum dibagi menjadi
dua golangan besar, yaitu golongan Murji’ah Moderat dan Murji’ah
Ekstrim.
·
Golongan Moderat
Golongan Moderat adalah golongan
yang berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal
di dalam neraka. Mereka berpendapat bahwa hukuman di dalam neraka sesuai dengan
besarnya dosa yang dilakukannya. Mereka berpendapat bahwa kemungkinan Allah
akan mengampuni dosanya dan orang tersebut tidak masuk neraka selamanya.
Penggagas dalam golongan ini adalah Al-Hasan ibn Muhammad ibn Ali ibn Abi
Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan beberapa ahli hadis lainnya.
Menurut Abu Hanifah bahwa iman semua
orang Islam itu sama, tidak ada perbedaan antara iman orang Islam yang berdosa
besar dan iman orang Islam yang patuh menjalankan perintah-perintah Allah,
sehingga iman seseorang itu tidak bertambah ataupun berkurang (Nasution, 1986:
27).
·
Golongan Ekstrim
Golongan Ekstrim menurut Ali Subelih
(dalam Nasution, 1986: 28) bahwa orang Islam yang percaya kepada Tuhan dan
Rasul-Nya dan kemudian menyatakan kekufuran baik secara lisan tidak menjadikan
orang tersebut kafir, karena iman itu letaknya di dalam hati, bukan di bagian
tubuh yang lain. Pengikut Al-Hasan berpendapat bahwa iman itu mengetahui Tuhan
dan kafir tidak tahu Tuhan, sehingga segala sesuatu yang diperintahkan untuk
wajib dijalankan seperti shalat, zakat, puasa dan haji itu bukan termasuk ke
dalam ibadah kepada Allah, tetapi merupakan sebagai bentuk kepatuhan semata.
Menurut Harun Nasution (dalam Rozak
dan Anwar, 2012: 75) bahwa golongan Ekstrim ini dibagi menjadi 4 sekte, yaitu:
a.
Jahmiyah
Jahmiyah
adalah kelompok Jahm bin Shafwan dan para pengikiutnya, yang berpandangan orang
yang percaya kepada Tuhan dan kemudian menyatakan kekufurannya secara lisan
tidak menjadi kafir karena iman dan kufur tempatnya di dalam hati, bukan di
bagian lain dalam tubuh manusia.
b.
Shalihiyah
Adalah
kelompok Abu Hasan Ash-Shalihi yang berpendapat bahwa iman adalah mengetahui
Tuhan dan kufur tidak tahu Tuhan. Shalat bukan merupakan ibadah kepada Allah
SWT. Oleh karena segala sesuatu dalam bentuk amal perbuatan yang diperintahkan
bukanlah ibadah melainkan suatu bentuk kepatuhan.
c.
Yunusiah dan Ubaidiyah
Kedua
kelompok ini melontarkan pendapat bahwa seseorang yang melakukan maksiat tidak
merusak iman seseorang. Mati dalam keadaan iman atau pun melakukan dosa besar
sama sekali tidak berpengaruh terhadap yang bersangkutan. Dalam hal ini,
Muqatil bin Sulaiman berpendapat bahwa perbuatan jahat banyak atau sedikit
tidak merusak iman seseorang sebagai musyrik atau pholitheis.
d.
Hasaniyah
Golongan
ini berpendapat apabila seseorang mengatakan, “Saya tahu Tuhan melarang makan
babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan adalah babi ini”.
Orang yang berkata demikian tetap mukmin, bukan kafir. Begitu pula orang yang
mengatakan , “Saya tahu Tuhan mewajibkan naik haji ke Kakbah, tetapi saya tidak
tahu apakah Kakbah di India atau di tempat lain.
4.
Tokoh Murji’ah
·
Abu
Hanifah
Beliau
lahir di Anbar tahun 80 H/699M dengan nama lengkap Abu Hanifah al-Nu’man ibn
Tsabit ibn Zutha al-Kufi. Abu Hanifah tumbuh di kota Kufah. Beliau juga pernah
mengembara ke Basrah, Mekkah dan Madina dalam rangka mngembangkan wawasan dan
memperluas ilmu pengetahuan yang telah diperolehnya (Fauzan, 2015: http://fauzanppsi.blogspot.com).
Pandangan
beliau tentang faham Murji’ah yaitu dimana beliau mempunyai pendapat
bahwa iman ialah pengetahuan dan
pengakuan tentang Tuhan, tentang Rasul-Nya dan tentang segala apa yang datang
dari Tuhan dalam keseluruhan dan tidak dalam perincian; iman tidak mempunyai
sifat bertambah atau berkurang dan tidak ada perbedaan antara manusia dalam hal
iman. Faham yang disampaikan oleh Abu Hanifah inilah yang menjadi faham bagi
kaum Murji’ah pada umumnya dan Murji’ah moderat khususnya.
·
Jahm
bin Sufwan
Jahm
bin sufwan dilahitkan di kota Kufah, tetapi menetap di Khurasan di Tirmidh.
Beliau belajar dibawah asuhan al-Ja’ad bin Dirham, seorang sekertarian dari
Harran di Suriah (Prasetyo, 2015: http://prasetyo-teguh,blogspot.com). Peran
beliau dalam golongan Murjia’ah yakni pendapat beliau tentang seorang
Muslim yang iman kepada Tuhannya tetapi Mukmin itu menyatakan kekufuran secara
lisan, maka dia bukanlah kafir. Pendapat inilah yang menjadi faham yang terus
dijunjung oleh kaum Murji’ah ekstrim
khususnya.
III.
Penutup
Pada dasarnya munculnya
golongan-golongan dalam Islam inilah persoalan tentang orang berbuat dosa yang
kemudian mempunyai pengaruh besar terhadap pertumbuhan ilmu kalam atau teologi
Islam sehingga menimbulkan tiga aliran teologi Islam yaitu Khawarij, Murji’ah
dan Mu’tazilah. Bahkan dalam itu pun muncul lagi dua aliran dalam
teologi yang terkenal dengan nama Al-Qodariah dan Al-Jabariah
(Nasution, 1986: 9). Oleh karenanya setelah adanya pembahasan tentang beberapa di
antara aliran-aliran tersebut, kita dapat mengetahui tentang faham-faham yang
mereka anut sehingga kita juga tahu termasuk dalam kelompok manakah kita,
apakah salah satu, dua atau semuanya baik secara sadar ataupun tidak sadar.
Akan tetapi mengenai aliran-aliran yang dibahas sebelumnya, dimana aliran Khawarij
menurut Harun nasution (1986: 23) bahwa golongan-golongan Khawarij yang
ektrim dan radikal, sungguhpun mereka sebagai golongan telah hilang dalam
sejarah, tetapi ajaran-ajaran ekstrim mereka masih mempunyai pengaruh walaupun
tidak banyak dalam kehidupan masyarakat Islam sekarang. Begitu pula dengan aliran Murji’ah moderat dan
ekstrim, Murjiah moderat sebagai golongan yang berdiri sendiri telah
hilang dalam sejarah tetapi ajaran-ajaran mereka mengenai iman, kufur dan dosa
besar masuk ke dalam aliran Ahli Sunnah dan Jama’ah. Adapun golongan Murji’ah ekstrim, mereka juga
telah hilang sebagai aliran yang berdiri sendiri, tetapi tidak lantas
praktek-praktek faham mereka ikut hilang (Nasution, 1986: 32).
BIBLIOGRAFI
Ahmad, Muhammad. 1998. Tauhid-Ilmu
Kalam. Bandung: Pustaka Setia.
Ash-Shiddieqy, Teuku Muhammad. 2009.
Sejarah & Pengantar Ilmu Tauhid (Kalam).
Semarang: Pustaka Riski Putra.
Nasution,
Harun. 1986. Teologi Islam: aliran-aliran, sejarah analisa dan perbandingan. Jakarta: (UI-Press).
Prasetyo,
Teguh. Pemikiran Jahm bin Sofyan. http://prasetyo-teguh.blogspot.com, diakses 18 Maret 2015.
Rozak dan
Anwar. 2012. Ilmu Kalam. (Ed) Revisi. Bandung: Pustaka Setia.
Syalabi,
A. 1983. Sejarah dan Kebudayaan Islam 2. Cetakan IV. Jakarta: Pustaka al-husna.