Rabu, 15 Juni 2016

Fiqih dalam Studi Islam



I.          Pendahuluan
            Hukum-hukum fiqih tumbuh bersamaaan dengan tumbuhnya agama Islam karena agama Islam merupakan perpaduan dari aqidah, ahklak, dan hukum amaliyah. Hukum amaliyah ini pada masa Rasulullah SAW ialah hukum-hukum yang bersumber dari Al-qur’an, dari Rasulullah SAW (Hadits) sebagai suatu fatwa atau suatu keputusan guna menindak lanjuti setiap persengketaan atau suatu jawaban dari  pertannyaan yang timbul di kalangan umat Islam. Kompilasi hukum fiqih pada periode pertama terbentuk dari hukum-hukum Allah dan Rasulullah yang bersumber dari Al-qur’an dan As-sunnah. Pada masa sahabat timbul berbagai masalah yang tidak muncul semasa Rasulullah masih hidup sehingga para sahabat yang menjadi mujtahid (memenuhi syarat) melakukan ijtihad untuk dapat meluruskan dan memberi jawaban terhadab berbagai masalah tersebut serta berfatwa dan menetapkan hukum Syari’at dan menambah hukum yang berasal dari ijtihad yang mereka lakukan dan berdasarkan pada hukum pertama sebagai acuan guna menetapkan dan menambah hukum yang baru, termasuk didalamnya hukum fiqih seperti mu’amalah, as- sakhsyiah dll.
            Maksud dan tujuan pembuatan  makalah ini, adalah selain sebagai salah satu tugas penunjang Mata Kuliah Metode Study Islam, penulis juga memiliki keinginan adanya tukar pendapat dengan beberapa referensi sehingga semua peserta didik bisa memiliki kepahaman mengenai judul yang menjadi topik penulisan kami.

II.          Pembahasan
A.          Sejarah Pemikiran, Perkembangan dan Pengertian Fiqih
            Fiqih lahir bersamaan dengan lahirnya agama Islam, sebab agama Islam adalah agama yang berisi kumpulan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan manusia dengan sesamanya. Karena luasnya aspek yang diatur oleh Islam, para ahli membagi ajaran Islam ke dalam beberapa bidang seperti akidah, ibadah dan muamalah. Semua ini di masa Rasulullah diterangkan di dalam Al-Qur’an dan diperjelas di dalam Sunnahnya. Hukum yang ditetapkan dalam Al-Qur’an atau Sunnah kadang-kadang dalam bentuk jawaban dari suatu pertanyaan atau disebabkan terjadinya sesuatu kasus atau merupakan keputusan yang dikeluarkan Rasulullah ketika memutuskan sesuatu perkara. Jadi sumber Fiqih dimasa itu hanya dua adalah Al-Qur’an dan Sunnah (Karim, 2006: 29).
            Istilah fiqih itu sendiri sebenarnya muncul setelah masa Rasulullah seperti yang ditulis Syafi’i Karim (2006: 30-35) bahwa pada abad kedua dan ketiga hijriah atau di masa para tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan imam mazhab, dimana daerah kekuasaan Islam semakin meluas bahkan sampai daerah bukan Arab sekalipun,  hal inilah yang menimbulkan banyaknya berbagai kasus yang belum pernah terjadi sebelumnya di masa Rasulullah.
            Karena kasus baru inilah yang memaksa para mukalaf melakukan ijtihad, dan di masa ini pula dimulai gerakan pembukuan sunnah, fiqih, dan ilmu pengetahuan lainnya. Dalam mencatat fiqih disamping mencatat pendapat juga ditambah dengan dalil pendapat baik Al-Qur’an dan Sunnah atau dari sumber lainnya. Jadi sumber fiqih di masa itu selain Al-Qur’an dan Sunnah ditambah lagi dengan ijtihad, qiyas, dll. Kemudian, orang yang berkecimpung dalam ilmu fiqih dinamakan “fuqaha” dan ilmu pengetahuan mereka dinamakan “fiqih”. Sesuai dengan perkembangan zaman maka, maka para ahli fiqih dalam memberikan definisi terhadap fiqih juga berubah, diantaranya sebagai berikut:
·      Definisi fiqih pada Abad I (pada masa sahabat)
       Definisi fiqih di masa ini adalah ilmu pengetahuan yang tidak mudah diketahui oleh masyarakat umum. Sebab untuk mengetahui fiqih atau ilmu fiqih hanya dapat diketahui oleh orang yang mempunyai ilmu agama yang mendalam sehingga mereka dapat membahas dengan meneliti buku-buku besar dalam masalah fiqih. Mereka inilah yang disebut Liyatafaqqahufiddin yaitu untuk mereka yang bertafaqquh dalam agama Islam.
       Siapa yang dikehendaki Allah, mereka akan memperoleh pengetahuan (fiqih) secara mendalam, yaitu semasa belum lahirnya mazhab, tapi fiqih waktu itu dalam tangan sahabat dan tabi’in, karena orang pada waktu itu belum berpegang kepada suatu mazhab dari seseorang mujtahid. Sabda Nabi SAW. Yang berbunyi:
مَنْ يُرِدِاللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّيْنِ. ( رواه البخارى و مسلم )
Artinya: “Barang siapa yang dikehendaki Allah akan diberikan kebaikan dan keutamaan niscaya diberikan kepadanya faham yang mendalam dalam agama”.      (HR. Bukhari dan Muslim)
·      Definisi Fiqih pada Abad II (masa telah lahirnya mazhab-mazhab)
       Di Abad ke-2 telah lahir para pemuka mujtahid yang mendirikan berbagai mazhab yang terbesar di kalangan umat Islam. Pengertian fiqih waktu itu diperkecil scopnya, yaitu untuk membahas suatu cabang ilmu pengetahuan di bidang ilmu agama. Jadi lafaz fiqih hanya khusus untuk nama dari hukum yang dipetik dari Kitabullah dan Sunnatur Rasul. Dibawah ini ada beberapa definisi fiqih yang diutarakan oleh Abu Hanifah seorang ahli agama dan mujtahid besar dan tertua di akhir masa sahabat dan juga definisi fiqih dari pengikut Imam Syafi’i.
o  Abu Hanifah menyatakan:
عِلْمٌ يُبَيِّنُ الْحُقُوْ قَ وَالْوَا جِبَا تِ
Artinya: “Ilmu yang menerangkan segala hak dan kewajiban”.
Maksud dari definisi tersebut ialah dimana suatu pengetahuan yang menerangkan segala yang diwajibkan, disunahkan, dimakruhkan dan dibolehkan dalam ajaran Islam.
o  Pengikut Imam Syafi’i mengatakan:
اَلْعِلْمُ الَّذِ ئ يُبَيِّنُ الْأَحْكَامَ الشَّرْعِيَّةَالَّتِئ تَتَعَلَّقُ بِأَفْعَالِ الْمُكَلَّفِينَ الْمُسْتَنْبَطُ مِنْ اَدِ لَّتِهَاالتَّفْصِيْلِيَّةِ
Artinya: “Ilmu yang menerangkan segala hukum agama yang berhubungan dengan perbuatan para mukallaf yang digali (diistinbat) dari dalil-dalil yang jelas (tafshily)”.
            Dari definisi-definisi di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian dari fiqih secara bahasa dan istilah adalah sebagai berikut:
Fiqih  secara bahasa berasal dari Bahasa Arab terdiri dari kata faqiha-yafqahu-fiqhan (فَقِهَ - يَفْقَهُ - فِقْهًا  ) yang berarti “mengerti atau faham” (Karim, 2006: 1).  Fiqih secara istilah adalah ilmu yang mempelajari tentang syari’at atau hukum Islam dan berbagai macam aturan hidup bagi manusia, baik yang bersifat individu maupun yang berbentuk masyarakat sosial (Karim, 2006: 18).

B.     Kedudukan dan Fungsi Fiqih dalam Islam
          Fiqih menempati posisi yang amat penting dalam pemikiran Islam, sebab fiqih merupakan hasil murni para intelektual muslim, bukan hasil adopsi apalagi jiplakan dari hukum Romawi seperti yang dikatakan sebagian Orientalis tetapi sepenuhnya bahwa berakar pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Karena sangat penting dan menonjolnya kedudukan fiqih dalam Islam,  maka tidak heran jika ada yang mengatakan “andaikan saja peradapan Islam bisa diungkapkan dengan salah satu produknya, maka kita akan mengatakan dan menamakannya sebagaiperadapan Fiqih” sebagaimana Yunani identik dengan “peradapan Filsafat” sebab filsafat merupakan hasil pemikiran orang Yunani. Bagi umat Islam, fiqih adalah perwujudan kehendak Allah terhadap manusia yang berisi tentang perintah dan larangan, oleh sebab itu banyak peneliti islam yang berkesimpulan bahwa tidak mungkin memahami Islam dengan baik dan sempurna tanpa pengetahuan komperhensif tentang fiqih (Amhari, 2014: http://pondokmodernar-rosyid.blogspot.com).
            Hal ini pun sama dengan apa yang diungkapkan oleh Moh. Faizin dalam blognya (2014: http://mohfaizinitueachiko.blogspot.com) bahwa Bagi ummat Islam, fiqih merupakan perwujudan (embodiement) kehendak Allah terhadap manusia yang berisi perintah dan larangan. Oleh sebab itu, pelaksanaan hukum-hukum fiqhiyyah dianggap sebagai bentuk ketundukan kepada Allah; ia adalah manifestasi eksoterik keimanan. Fiqih bukan hanya mengatur hal-hal yang berhubungan dengan ritual semata, tapi juga seluruh aspek kehidupan manusia dari mulai hubungan pribadinya dengan dirinya sendiri, dengan Tuhannya, keluarganya, lingkungan masyarakatnya serta dengan orang yang diluar agama dan negaranya.
                Para ulama’ mendefiniskan fiqih sebagai “pengetahuan tentang hukum syara‘ praktis beserta dengan dalil-dalilnya yang terperinci berkenaan dengan perbuatan manusia”. Definisi ini menunjukkan bahwa yang menjadi objek kajian fiqih adalah perbuatan manusia, mengenai haram atau halal, wajib atau mubah, dan sebagainya. Kehadiran hukum seperti ini mutlak diperlukan oleh manusia. Karena ia dapat menjamin dan melindungi masyarakat dari keonaran dan kekacauan. Sebab manusia pada dasarnya, kata Ibn Khaldun, adalah “domenieering being” yang punya ambisi dan kecenderungan untuk menguasai dan menakhlukkan orang lain serta memaksa mereka tunduk dan patuh kepadanya. Bila sifat ini tidak dikekang maka ia akan mencetuskan konflik dan peperangan.
            Dalam Islam fiqih mempunyai dwi fungsi, pertama sebagai hukum positif dan kedua sebagai standar moral. Yang dimaksudkan sebagai hukum positif disini adalah bahwa fiqih berfungsi seperti hukum-hukum positif lain dalam mengatur kehidupan manusia. Ia mendapatkan legitimasi dari badan judikatif, yaitu mahkamah. Tapi perlu ditekankan bahwa tidak semua hukum-hukum fiqih mendapat justifikasi dan legitimasi mahkamah. Masalah hukum mubah, makruh, bahkan mengenai hukum wajib dan haram pun tidak bisa sepenuhnya dibawah jurisdiksi mahkamah. Disini fiqih lebih merupakan etika atau moral. Jadi, disini fiqih memainkan fungsi double, sebagai hukum positif dan moral. Aspek inilah yang membedakan secara prinsip konsep hukum Islam dengan konsep hukum di Barat. Dalam Islam “etika dan agama menyatu dengan aturan-aturan hukum positif.” “the ideal code of behaviour which is the Shar‘ah has in fact a much wider scope and purpose than a simple legal system in the Western sense of them. Jurisprudence … is also a composite science of law and morality”. Mungkin atas sebab inilah Robert Brunschvig menyebut hukum Islam dengan “ethico juridical”. Berbeda dengan di Barat di mana hukum positif tidak mungkin menyatu dengan hukum moralitas, meskipun keduanya menyentuh lahan pembahasan yang sama. Bagi mereka “law that is not humanly enacted and recognized, and whose observance is not ascertainbale by human faculties, is not law.

C.     Selayang Pandang Tokoh-tokoh Fiqih
            Perkembangan fiqih setelah masa para tabi’in sebagaimana dalam tulisan Burhanuddin (2001: 24-26), muncul berbagai titik tolak para ulama’ dalam menetapkan hukum yang berbeda-beda, dimana apabila ulama’ yang satu melihat dari sudut pandang maslahat, maka ulama’ yang lain melihat dari sudut pandang Sunnah. Di sinilah awal perbedaan dalam mengistinbatkan hukum di kalangan ulama’, sehingga muncul tiga kelompok ulama’ yaitu Madrasah Al-Iraq, Madrasah Al-Kufah, Madrasah Al-Madinah. Baru setelah itu munculah para imam mujtahid, khususnya empat imam mazhab, yaitu:
·      Numan Ibnu Ats-Tsabit
       Beliau lebih dikenal dengan nama Imam Abu Hanifah. Dia adalah seorang alim keturunan Persia, lahir di Basrah tahun 80 H (699 M), beliau bekerja di Kuffah dan meninggal tahun 150 H (767 M). Abu Hanifah terkenal sebagai ahli ar-ra’yu, yaitu banyak mendasarkan pendapatnya pada ujian pikiran karena kurangnya hadis-hadis sahih di Basrah.
Murid-muridnya yang terkenal adalah:
o  Abu Yusuf, yang meninggal tahun 183 H (798 M)
o  Muhammad Ibnu Hisam Al-Syaibani, meninggal tahun 189 H (804)
Kedua murid inilah yang berjasa besar dalam membentuk Mazhab Hanafi. Mazhab ini berkembang di (Turkinsan, Bukhara, Samarkand), Afganistan, Hindustan, dan Turki.
·      Malik Ibnu Anas
       Beliau lebih dikenal dengan sebutan Imam Malik, lahir di Madinah tahun 93 H (713 M) dan meninggal tahun 179 H (795 M). Imam Malik terkenal sebagai ahli hadis. Pada saat itu para ahli hadis banyak yang mengumpulkan. Disamping merujuk Al-Qur’an, Imam Malik juga menjadikan Hadis Rasulullah SAW sebagai dasar fiqihnya. Buku hadisnya yang terkenal berjudul Muwatta. Dialah yang mendirikan Mazhab Maliki. Pengikut terbesarnya di seluruh daerah Islam bagian barat, seperti Maroko, Aljazair, Tunis, Tripoli, Spanyol, Mesir, dan Afrika Tengah.
·      Muhammad Ibnu Idris Asy-Syafi’i
       Beliau lebih populer dengan nama Imam Asy-Syafi’i dilahirkan di Palestina tahun 150 H (767 M) dan meninggal tahun 204 H (802 M) di Mesir. Ia dibesarkan dan belajar di Mekkah dan di Madinah (pernah belajar dari Imam Malik) serta merupakan pendiri Mazhab Syafi’i. Kitabnya yang terkenal sampai sekarang ialah Al-Um yang dijadikan sebagai dasar dari ilmu Ushul Al-Fiqih. Pengikut mazhabnya terbesar di Mesir, Afrika, Tunis, Asia Tengah, Bahrein, Arabia Selatan, Yaman, Siam, Malaysia dan Indonesia.
·      Imam Ahmad Ibnu Hambal
       Imam Ahmad Ibnu Hambal lahir di Bagdad tahun 164 H (776 M) dan meninggal tahun 241 H (855 M). Ia terkenal sebagai ahli hadis. Kitabnya yang terkenal bernama Musnad Ahmad Ibnu Hambal, yang berisi hampir 30.000 hadis. Dialah yang mendirikan Mazhab Hambali, yang pengikutnya terbesar di Arabia Tengah, Arabia Barat, Oman, Teluk Persia, Bagdad, Asia Tengah, dan Siria.
            Disamping itu, ada lagi Mazhab Syi’ah yang mempunyai fiqih tersendiri, Mazhab Zhahiri mempunyai fiqih tersendiri pula. Imam-imam besar itulah yang telah menciptakan fiqih, yang masih ditaati penganut Islam sampai sekarang.

D.     Metode Penelitian Fiqih dan Hukum Islam
            Abuddin Nata (2006: 295-297) dalam bukunya tertulis bahwa fiqih atau Hukum Islam merupakan salah satu bidang studi Islam yang paling dikenal oleh masyarakat. Hal ini karena fiqih terkait langsung dengan kehidupan masyarakat. Dari sejak lahir sampai meninggal dunia manusia selalu berhubungan dengan fiqih. Karena fiqih terlihat sangat menyatu dengan misi agama Islam, maka kehadirannya adalah untuk mengatur kehidupan manusia agar tercipta kehidupan yang tertib dan teratur.
            Berdasarkan pada pengamatan terhadap fungsi dari fiqih, maka muncullah beberapa serangkaian penelitian terhadap pertumbuhan dan pengembangan fiqih dimana untuk mengetahui seberapa jauh produk-produk hukum Islam tersebut dapat berubah sesuai dengan tuntutan zaman. Karena itu untuk mengukur sejauh mana fiqih itu tetap aktual dan mampu menanggapi perkembangan zaman, maka para ahli melakukan penelitian, diantaranya berikut ini:
1.    Model Harun Nasution
            Beliau adalah seorang Guru besar dalam bidang Teologi dan Filsafat Islam, beliau juga mempunyai perhatian pada fiqih, diantaranya Harun Nasution melakukan penelitian secara ringkas namun mendalam terhadap berbagai literatur tentang hukum Islam dengan menggunakan pendekatan sejarah. Harun Nasution telah berhasil mendeskripsikan struktur hukum Islam secara komprehensif. Selanjutnya memalui pendekatan kesejarahan, Harun Nasution membagi perkembangan hukum Islam menjadi beberapa periode, yaitu sebagai berikut:
·      Periode Nabi
       Pada masa periode nabi, segala persoalan yang muncul dikembalikan lagi pada nabi untuk penyelesaiannya, nabilah yang menjadi satu-satunya sumber hukum saat itu. Secara langsung pembuat hukum adalah nabi, tetapi secara tidak langsung pembuat hukum adalah Tuhan, karena hukum yang dikeluarkan nabi bersumber pada wahyu dari Tuhan. Nabi hanya bertugas mneyampaikan dan melaksanakan hukum yang ditentukan Tuhan, jadi sumber hukum yang ditinggalkan nabi untuk zaman sesudahnya ialah Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
·      Periode Sahabat
       Di masa sahabat, daerah yang dikuasai Islam bertambah luas dan termasuk ke dalamnya daerah di luar Semenanjung Arab yang telah mempunyai kebudayaan tinggi dan susunan masyarakat yang bukan sederhana dibandingkan dengan masyarakat Arab ketika itu, sering dijumpai berbagai persoalan hukum. Untuk itu para sahabat disamping berpegang kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah juga kepada sunnah para sahabat.
·       Periode Ijtihad
       Pada masa ijtihad ini, problema hukum yang dihadapi semakin beragam akibat dari semakin bertambahnya daerah Islam dengan berbagai macam bangsa masuk Islam dengan membawa berbagai macam adat-istiadat, tradisi, dan sistem kemasyarakatan. Dalam kaitannya ini maka muncullah para ahli hukum mujtahid yang disebut dengan imam atau faqih.
       Dari uraian tersebut terlihat bahwa model penelitian hukum Islam yang digunakan Harun nasution adalah penelitian eksploratif, deskiptif, dengan menggunakan pendekatan kesejarahan. Interpretasi yang dilakukan atas data-data historis tersebut selalu dikaitkan dengan konteks sejarahnya.
2.    Model Noel J. Coulson
            Noel J. Coulson menyajikan hasil penelitiannya di bidang hukum Islam dalam bukunya yang berjudul Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah. Penelitiannya yang bersifat deskriptif analitis ini menggunakan pendekatan sejarah. Seluruh informasi tentang perkembangan hukum pada setiap periode selalu dilihat dari faktor-faktor sosio kultural yang mempengaruhinya, sehingga tidak ada satu pun produk hukum yang dibuat dari ruang yang hampa sejarah.
            Hasil penelitiannya itu dituangkan dalam tiga bagian. Bagian pertama menjelaskan tentang terbentuknya hukum syari’at. Bagian kedua tentang pemikiran dan praktek hukum Islam di abad pertengahan. Bagian ketiga menjelaskan tentang hukum Islam di masa modern.
            Dari penelitian Coulson, tampak bahwa dengan mengunakan pendekatan historis, Coulson lebih berhasil menggambarkan perjalanan hukum Islam dari sejak berdirinya hingga sekarang secara utuh, dan dari dari penelitian tersebut beliau berhasil menempatkan hukum Islam sebagai perangkat norma dari perilaku teratur dan merupakan suatu lembaga sosial dengan memperhatikan sekali masalah keluarga karena keluarga yang baik, makmur dan bahagia maka akan tercipta pula masyarakat yang baik, makmur, dan bahagia. Dengan melihat fungsi hukum demikian, pengamatan terhadap perubahan sosial harus dijadikan pertimbangan penting dalam rangka reformulasi hukum Islam.
3.    Model Mohammad Atho Mudzhar
            Mohammad Atho Mudzhar dalam menyelesaikan program doktornya di Universitas California, Amerika Serikat, beliau menulis disertasi yang isinya berupa penelitian terhadap produk fatwa Majelis Ulama Indonesia tahun 1975-1988 dengan judul Fatwas of the Council of Indonesian Ulama A Study of Islamic Legal Thought in Indonesian 1975-1988.
            Tujuan dari penelitian yang dilakukannya adalah untuk mengetahui materi fatwa yang dikemukakan Majelis Ulama Indonesia (MUI) serta latar belakang sosial politik yang melatarbelakangi timbulnya fatwa tersebut. Penelitian ini bertolak pada asumsi bahwa produk fatwa yang dikeluarkan MUI selalu dipengaruhi oleh setting sosio kultural dan sosio politik, serta fungsi dan status yang harus dimainkan oleh lembaga tersebut.
            Hasil penelitian tersebut dituangkan dalam empat bab. Bab pertama mengemukakan tentang latar belakang dan karakteristik Islam di Indonesia serta pengaruhnya terhadap corak hukum Islam. Karakteristik tersebut dilihat dari empat aspek, yaitu latar belakang kultur, doktrin teologi, struktur sosial, dan ideologi politik. Bab Kedua tentang MUI dari segi latar belakangnya didirikannya, sosio politik yang mengitarinya, hubungan majelis ulama dengan pemerintah dan organisasi Islam, serta organisasi non-Islam lainnya dan berbagai fatwa yang dikeluarkan. Bab ketiga tentang isi produk fatwa yang dikeluarkan MUI serta metode yang digunakan. Bab keempat berisi tentang kesimpulan yang dihasilkan dari studi tersebut.
            Dari uraian tersebut, terlihat bahwa bidang penelitian hukum Islam yang dilakukan Atho Mudzhar termasuk penelitian uji teori atau uji asumsi (hipotesis) yang dibangun dari berbagai teori yang terdapat dalam ilmu sosiologi hukum. Peneliti dengan amat jelas menggunakan asumsi yang ingin dibuktikan, dalam penelitian tersebut terlihat bahwa penelitian yang dilakukan Atho Mudzhar adalah penelitian kepustakaan, sedangkan kerangka analisis yang digunakannya adalah sosiologi hukum.
            Hasil penelitian tersebut terasa mengejutkan sebagian ulama’ fiqih tradisional. Hal ini dinilai akan menghilangkan unsur kesakralan atau kekudusan hukum Islam. Para ulama’ tradisional khawatir penelitian tersebut akan menempatkan hukum Islam sebagai hukum sekuler yang dapat di ubah seenaknya. Tetapi hal tersebut tidak mengherankan karena secara faktual hukum Islam atau fiqih yang selama ini dipelajari dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi bersifat ahistoris atau kehilangan konyeks sejarahnya. Para ulama’ yang mempelajari fiqih pada umumnya tidak mengetahui berbagai faktor yang ikut serta mempengaruhi terbentuknya hukum tersebut. Akibatnya mereka tidak tahu persis konteks situasional yang menyebabkan mengapa produk hukum itu lahir. Dari keadaan demikian sulit sekali diterima upaya refornasi dan pembaharuan dalam hukum Islam. Apabila keadaan itu terus berlanjut, akan banyak sekali produk hukum yang tidak lagi sesuai dengan tuntutan zaman , karena produk tersebut dengan tuntutan sosial sudah terdapat ketidakcocokan atau telah terjadi kesenjangan.
            Tetapi tidak sepenuhnya bahwa produk hukum Islam harus disesuaikan dengan tuntutan zaman. Hukum Islam yang berkaitan dengan masalah ibadah ritual, jelas tidak dipengaruhi oleh perubahan zaman sebagai contohnya adalah rukun shalat.
            Penelitian tersebut bermanfaat dalam upaya membuka pikiran dan pandangan para ulama’ fiqih di Indonesia yang cenderung kurang berani mengeluarkan fatwa, atau kurang produktif dalam menjawab berbagai masalah aktual yang muncul di masyarakat sebagai akibat dari kekurangpahaman dalam memahami situasi yang berkembang dan bagaimana memanfaatkan situasi tersebut dalam rangka melahirkan produk Islam. Penelitian tersebut pada intinya sejalan dengan penelitian yang dilakuakn Coulson yang menggunakan pendekatan historis dalam penelitiannya. Dengan demikian hukum Islam baik secara langsung maupun tidak langsung masuk kedalam kategori ilmu sosial karena hal ini sama sekali tidak mengganggu kesucian dan kesakralan Al-Qur’an yang menjadi sumber hukum Islam. Sebab yang dipersoalkan bukan relevan tidaknya Al-Qur’an tetapi yang menjadi persoalan adalah apakah hasil pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an terutama ayat-ayat ahkam masih sejalan dengan tuntutan zaman atau tidak. Dengan cara inilah makna kehadiran Al-Qur’an secara fungsuinal dapat dirasakan oleh masyarakat.

E.     Pendekatan Pokok Dalam Kajian Islam
            Ali Anwar Yusur (2003: 54) dalam tulisannya berpendapat bahwa kajian Islam secara normatif agaknya masih banyak terbebani oleh misi keagamaan yang bersifat memihak dan apologis, sehingga menyebabkan kadar kritis dan empiris terutama dalam menelaah teks-teks atau naskah-naskah keislaman produk sejarah terdahulu kurang begitu ditonjolkan. Apabila kajian Islam tersebut dilihat dari sudut pandang historis, dimana Islam dalam arti yang dipraktikkan oleh umat manusia serta tumbuh dan berkembang dalam sejarah kehidupan manusia, maka Islam dapat dikatakan sebagai sebuah disiplin ilmu, yaitu ilmu keislaman (Islamic Studies)
            Peran Islam dalam disiplin ilmu inilah, sehingga Islam itu sendiri menempati posisi sebagai salah satu objek kajian keilmuan atau penelitian ilmiah. Dalam mempelajari suatu disiplin ilmu maka diperlukan yang namanya suatu metode pendekatan untuk memahami isi dari objek yang dikaji.
            Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (dalam Abuddin Nata 2006: 29-28) bahwa ada berbagai pendekatan, meliputi: pendekatan teologi normatif, antropologis, sosiologis, psikologis, historis, kebudayaan, dan pendekatan filosofis. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan di sini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dalam hubungan ini, Jalaluddin Rahmat mengatakan bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma. Realitas keagamaan yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya. Karena itu, tidak ada persoalan apakah penelitian agama itu penelitian  ilmu sosial, penelitian legalistik atau penelitian filosofis.
            Ali Anwar Yusuf (2003: 55-58) bahwa masing-masing pendekatan tersebut bertujuan untuk meneliti dan mengkaji masalah-masalah yang spesifik dari berbagai masalah keislaman. Kemudian ditentukan metode yang akan digunakan sesuai dengan masalah yang akan dikajinya. Adapun metode-metode pendekatan yang sering digunakan dalam mengkaji Islam antara lain adalah:
·      Metode Filosofis
       Filsafat adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang membahas segala sesuatu dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan sedalam-dalamnya sejauh di dalam jangkauan kemampuan akal manusia, kemudian berusaha untuk sampai kepada kesimpulan yang universal dengan meneliti akar permasalahannya.
       Harun Nasution (dalam Yusuf  2003: 55) menyatakan berfilsafat intinya adalah berfikir secara mendalam, seluas-luasnya dan sebebas-bebasnya, tidak terikat dengan apa pun sehingga sampai kepada dasar segala dasar.
       Berfikir secara filosofis dapat digunakan dalam memahami ajaran Islam (agama) dengan maksud agar hakikat atau inti dari ajaran Islam dapat dimengerti dan dipahami secara seksama. Memahami Islam melalui pendekatan filosofis, seseorang tidak akan terjebak pada pengalaman agama yang bersifat formalistik, yakni mengamalkan agama dengan tidak memiliki makna apa-apa atau kosong tanpa arti. Namun tidak pula menafikan atau menyepelekan ibadah formal, tetapi ketika dia melaksanakan ibadah formal disertai dengan penjiwaan dan penghayatan terhadap maksud dan tujuan melaksanakan ibadah tersebut.
·      Metode Historis
       Abdullah (dalam Yusuf, 2003: 56) menurut bahasa sejarah dapat diartikan suatu cerita atau rekonstruksi atau sebagai kumpulan gejala empiris di masa lampau. Sedangkan menurut istilah, sejarah berarti suatu ilmu yang membahas berbagai peristiwa atau gejala dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut. Metode ini mengajak seseorang untuk menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat empiris dan mendunia.
       Metode historis sangat dibutuhkan dalam memahami Islam, karena Islam itu sendiri turun dari sesuatu yang konkret dan sangat berhubungan dengan kondisi sosial masyarakat. Bahkan Kuntowijoyo telah melakukan studi mendalam terhadap ajaran Islam dan menyimpulkan bahwa kandungan Al-Qur’an terbagi menjadi dua bagian:
o  Pertama, berisi konsep-konsep
o  Kedua, berisi kisah-kisah sejarah dan perumpamaan
       Dengan menggunakan metode sejarah, seseorang diajak untuk masuk ke dalam situasi yang sebenarnya terhadap terjadinya peristiwa, contonya dengan mempelajari sejarah turunnya atau kejadian yang mengiringi Al-Qur’an (Asbab An-Nuzul). Dengan mengetahui ilmu sebab Asbab An-Nuzul, seseorang akan mengetahui hikmah yang terkandung dalam suatu ayat yang berhubungan dengan hukum tertentu atau tujuan tertentu, sehingga hal ini dapat memelihara dari kekeliruan dalam kajian Al-Qur’an atau ajaran-ajaran Islam lainnya.
·      Metode Teologi
Metode teologi dalam memahami Islam yaitu dengan menggunakan kerangka ilimu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan. Selanjutnya metode ini berkaitan dengan pendekatan norrmatif, dimana pendekatan ini memandang Islam dari segi ajarannya yang pokok dan asli dari Allah yang di dalamnya belum terdapat penalaran pemikiran manusia. Dalam pendekatan teologis ini, Islam dilihat sebagai suatu kebenaran mutlak dari Allah tidak ada kekurangan sedikit pun dan tampak bersikap ideal dan diyakini sebagai agama yang sempurna dengan seperangkat cirinya yang khas. Apabila Islam dipahami dengan pendekatan teologi normatif, maka akan senantiasa menjunjung nilai-nilai luhur.

III.       Kesimpulan
            Dari beberapa penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa perkembangan fiqih dalam Metode Study Islam mengalami beberapa periode perkembangan yang diteliti melalui beberapa model penelitian guna lebih menjelaskan dan memberi kemudahan bagi penganut agama Islam untuk menjawab beberapa persoalan yang dihadapi umat Rasulullah SAW sepeninggal beliau, dimana persoalan tersebut tidak muncul ketika semasa hidup Rasulullah dengan memakai beberapa metode ijtihad yang hal itu menjadikan Al-qur’an dan As-sunnah sebagai sumber pemikiran dan dasar dalam membuat keputusan  lalu memfatwakannya. Hal ini semakin menjelaskan pada kita semua bahwa berfikir dan bermusyawarah sangat bermanfaat untuk terciptanya suatu keselarasan pendapat yang hal itu dapat menyatukan dan mengurangi perpecahan dalam umat.


BIBLIOGRAFI

Burhanuddin. 2001. Fiqih Ibadah. Bandung: Pustaka Setia.
Faizin, Moh. Memahami Fungsi dan Kegunaan Mempelajari Ilmu Fiqih.    http://mohfaizinitueachiko.blogspot.com, diakses 11 Oktober 2014.

Karim, Syafi’i. 2006. Fiqih Ushul Fiqih. Cetakan IV. Bandung: Pustaka Setia.
Nata, Abuddin. 2006. Metodologi Studi Islam. (Ed) Revisi 10. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Yusuf, Ali Anwar. 2003. Studi Agama Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Z. Amhari, Moch. Kedudukan Fiqih Dalam Pemikiran Islam.          http://pondokmodernar-rosyid.blogspot.com, diakses 11 Oktober 2014.


















            

0 komentar:

Posting Komentar