Hukum-hukum fiqih tumbuh bersamaaan dengan tumbuhnya
agama Islam karena agama Islam merupakan perpaduan dari aqidah, ahklak,
dan hukum amaliyah. Hukum amaliyah ini pada masa Rasulullah SAW
ialah hukum-hukum yang bersumber dari Al-qur’an, dari Rasulullah SAW (Hadits)
sebagai suatu fatwa atau suatu keputusan guna menindak lanjuti setiap
persengketaan atau suatu jawaban dari
pertannyaan yang timbul di kalangan umat Islam. Kompilasi hukum fiqih
pada periode pertama terbentuk dari hukum-hukum Allah dan Rasulullah yang bersumber
dari Al-qur’an dan As-sunnah. Pada masa sahabat timbul berbagai masalah yang
tidak muncul semasa Rasulullah masih hidup sehingga para sahabat yang menjadi mujtahid (memenuhi syarat) melakukan ijtihad untuk dapat meluruskan dan
memberi jawaban terhadab berbagai masalah tersebut serta berfatwa dan
menetapkan hukum Syari’at dan menambah hukum yang berasal dari ijtihad yang mereka lakukan dan berdasarkan
pada hukum pertama sebagai acuan guna menetapkan dan menambah hukum yang baru,
termasuk didalamnya hukum fiqih seperti mu’amalah, as- sakhsyiah
dll.
Maksud dan
tujuan pembuatan makalah ini, adalah
selain sebagai salah satu tugas penunjang Mata Kuliah Metode Study Islam,
penulis juga memiliki keinginan adanya tukar pendapat dengan beberapa referensi sehingga semua peserta
didik bisa memiliki kepahaman mengenai judul yang menjadi topik penulisan kami.
II.
Pembahasan
A.
Sejarah Pemikiran, Perkembangan dan Pengertian Fiqih
Fiqih
lahir bersamaan dengan lahirnya agama Islam, sebab agama Islam adalah agama
yang berisi kumpulan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan
manusia dengan sesamanya. Karena luasnya aspek yang diatur oleh Islam, para
ahli membagi ajaran Islam ke dalam beberapa bidang seperti akidah, ibadah dan
muamalah. Semua ini di masa Rasulullah diterangkan di dalam Al-Qur’an dan
diperjelas di dalam Sunnahnya. Hukum yang ditetapkan dalam Al-Qur’an atau Sunnah
kadang-kadang dalam bentuk jawaban dari suatu pertanyaan atau disebabkan
terjadinya sesuatu kasus atau merupakan keputusan yang dikeluarkan Rasulullah
ketika memutuskan sesuatu perkara. Jadi sumber Fiqih dimasa itu hanya dua
adalah Al-Qur’an dan Sunnah (Karim, 2006: 29).
Istilah fiqih itu sendiri sebenarnya muncul setelah masa
Rasulullah seperti yang ditulis Syafi’i Karim (2006: 30-35) bahwa pada abad
kedua dan ketiga hijriah atau di masa para tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan
imam mazhab, dimana daerah kekuasaan Islam semakin meluas bahkan sampai
daerah bukan Arab sekalipun, hal inilah
yang menimbulkan banyaknya berbagai kasus yang belum pernah terjadi sebelumnya
di masa Rasulullah.
Karena kasus baru inilah yang memaksa para mukalaf
melakukan ijtihad, dan di masa ini pula dimulai gerakan pembukuan
sunnah, fiqih, dan ilmu pengetahuan lainnya. Dalam mencatat fiqih disamping
mencatat pendapat juga ditambah dengan dalil pendapat baik Al-Qur’an dan Sunnah
atau dari sumber lainnya. Jadi sumber fiqih di masa itu selain Al-Qur’an
dan Sunnah ditambah lagi dengan ijtihad, qiyas, dll. Kemudian,
orang yang berkecimpung dalam ilmu fiqih dinamakan “fuqaha” dan ilmu
pengetahuan mereka dinamakan “fiqih”. Sesuai dengan perkembangan zaman
maka, maka para ahli fiqih dalam memberikan definisi terhadap fiqih juga
berubah, diantaranya sebagai berikut:
·
Definisi
fiqih pada Abad I (pada masa sahabat)
Definisi fiqih di masa ini adalah ilmu pengetahuan yang tidak
mudah diketahui oleh masyarakat umum. Sebab untuk mengetahui fiqih atau
ilmu fiqih hanya dapat diketahui oleh orang yang mempunyai ilmu agama yang
mendalam sehingga mereka dapat membahas dengan meneliti buku-buku besar dalam
masalah fiqih. Mereka inilah yang disebut Liyatafaqqahufiddin yaitu
untuk mereka yang bertafaqquh dalam agama Islam.
Siapa yang dikehendaki Allah, mereka akan memperoleh
pengetahuan (fiqih) secara mendalam, yaitu semasa belum lahirnya mazhab, tapi
fiqih waktu itu dalam tangan sahabat dan tabi’in, karena orang pada
waktu itu belum berpegang kepada suatu mazhab dari seseorang mujtahid.
Sabda Nabi SAW. Yang berbunyi:
مَنْ يُرِدِاللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّيْنِ. ( رواه
البخارى و مسلم )
Artinya: “Barang siapa yang
dikehendaki Allah akan diberikan kebaikan dan keutamaan niscaya diberikan
kepadanya faham yang mendalam dalam agama”. (HR.
Bukhari dan Muslim)
· Definisi Fiqih pada Abad II (masa telah
lahirnya mazhab-mazhab)
Di Abad ke-2 telah lahir para pemuka mujtahid yang
mendirikan berbagai mazhab yang terbesar di kalangan umat Islam. Pengertian
fiqih waktu itu diperkecil scopnya, yaitu untuk membahas suatu cabang
ilmu pengetahuan di bidang ilmu agama. Jadi lafaz fiqih hanya khusus untuk nama
dari hukum yang dipetik dari Kitabullah dan Sunnatur Rasul.
Dibawah ini ada beberapa definisi fiqih yang diutarakan oleh Abu Hanifah
seorang ahli agama dan mujtahid besar dan tertua di akhir masa sahabat dan juga
definisi fiqih dari pengikut Imam Syafi’i.
o Abu Hanifah menyatakan:
عِلْمٌ يُبَيِّنُ الْحُقُوْ قَ وَالْوَا جِبَا تِ
Artinya: “Ilmu
yang menerangkan segala hak dan kewajiban”.
Maksud dari definisi
tersebut ialah dimana suatu pengetahuan yang menerangkan segala yang
diwajibkan, disunahkan, dimakruhkan dan dibolehkan dalam ajaran Islam.
o Pengikut Imam Syafi’i mengatakan:
اَلْعِلْمُ الَّذِ ئ يُبَيِّنُ الْأَحْكَامَ الشَّرْعِيَّةَالَّتِئ تَتَعَلَّقُ
بِأَفْعَالِ الْمُكَلَّفِينَ الْمُسْتَنْبَطُ مِنْ اَدِ لَّتِهَاالتَّفْصِيْلِيَّةِ
Artinya:
“Ilmu yang menerangkan segala hukum agama yang berhubungan dengan perbuatan
para mukallaf yang digali (diistinbat) dari dalil-dalil yang jelas (tafshily)”.
Dari definisi-definisi di atas maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa pengertian dari fiqih secara bahasa dan istilah adalah sebagai
berikut:
Fiqih secara bahasa berasal dari Bahasa Arab terdiri
dari kata faqiha-yafqahu-fiqhan (فَقِهَ - يَفْقَهُ - فِقْهًا ) yang
berarti “mengerti atau faham” (Karim, 2006: 1). Fiqih secara istilah adalah ilmu yang
mempelajari tentang syari’at atau hukum Islam dan berbagai macam aturan
hidup bagi manusia, baik yang bersifat individu maupun yang berbentuk
masyarakat sosial (Karim, 2006: 18).
B.
Kedudukan dan Fungsi Fiqih dalam Islam
Fiqih menempati posisi yang amat penting dalam
pemikiran Islam, sebab fiqih merupakan hasil murni para intelektual muslim, bukan
hasil adopsi apalagi jiplakan dari hukum Romawi seperti yang dikatakan sebagian
Orientalis tetapi sepenuhnya bahwa berakar pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah
SAW. Karena sangat penting dan menonjolnya kedudukan fiqih dalam Islam, maka
tidak heran jika ada yang mengatakan “andaikan saja peradapan Islam bisa
diungkapkan dengan salah satu produknya, maka kita akan mengatakan dan
menamakannya sebagai “peradapan Fiqih”
sebagaimana Yunani identik dengan “peradapan Filsafat” sebab filsafat
merupakan hasil pemikiran orang Yunani. Bagi umat Islam, fiqih adalah
perwujudan kehendak Allah terhadap manusia yang berisi tentang perintah dan
larangan, oleh sebab itu banyak peneliti islam yang berkesimpulan bahwa tidak
mungkin memahami Islam dengan baik dan sempurna tanpa pengetahuan komperhensif
tentang fiqih (Amhari, 2014: http://pondokmodernar-rosyid.blogspot.com).
Hal ini pun sama dengan apa yang diungkapkan
oleh Moh. Faizin dalam blognya (2014: http://mohfaizinitueachiko.blogspot.com) bahwa Bagi ummat Islam, fiqih
merupakan perwujudan (embodiement) kehendak Allah terhadap manusia
yang berisi perintah dan larangan. Oleh sebab itu, pelaksanaan hukum-hukum fiqhiyyah
dianggap sebagai bentuk ketundukan kepada Allah; ia adalah manifestasi
eksoterik keimanan. Fiqih bukan hanya mengatur hal-hal yang berhubungan dengan
ritual semata, tapi juga seluruh aspek kehidupan manusia dari mulai hubungan
pribadinya dengan dirinya sendiri, dengan Tuhannya, keluarganya, lingkungan
masyarakatnya serta dengan orang yang diluar agama dan negaranya.
Para ulama’ mendefiniskan fiqih sebagai “pengetahuan
tentang hukum syara‘ praktis beserta dengan dalil-dalilnya yang terperinci
berkenaan dengan perbuatan manusia”. Definisi ini menunjukkan bahwa yang
menjadi objek kajian fiqih adalah perbuatan manusia, mengenai haram atau halal,
wajib atau mubah, dan sebagainya. Kehadiran hukum seperti ini mutlak diperlukan
oleh manusia. Karena ia dapat menjamin dan melindungi masyarakat dari keonaran
dan kekacauan. Sebab manusia pada dasarnya, kata Ibn Khaldun, adalah “domenieering
being” yang punya ambisi dan kecenderungan untuk menguasai dan menakhlukkan
orang lain serta memaksa mereka tunduk dan patuh kepadanya. Bila sifat ini
tidak dikekang maka ia akan mencetuskan konflik dan peperangan.
Dalam Islam fiqih mempunyai dwi
fungsi, pertama sebagai hukum positif dan kedua sebagai standar moral. Yang
dimaksudkan sebagai hukum positif disini adalah bahwa fiqih berfungsi seperti
hukum-hukum positif lain dalam mengatur kehidupan manusia. Ia mendapatkan
legitimasi dari badan judikatif, yaitu mahkamah. Tapi perlu ditekankan bahwa
tidak semua hukum-hukum fiqih mendapat justifikasi dan legitimasi mahkamah.
Masalah hukum mubah, makruh, bahkan mengenai hukum wajib dan haram pun tidak
bisa sepenuhnya dibawah jurisdiksi mahkamah. Disini fiqih lebih merupakan etika
atau moral. Jadi, disini fiqih memainkan fungsi double, sebagai hukum positif
dan moral. Aspek inilah yang membedakan secara prinsip konsep hukum Islam
dengan konsep hukum di Barat. Dalam Islam “etika dan agama menyatu dengan
aturan-aturan hukum positif.” “the ideal code of behaviour which is the
Shar‘ah has in fact a much wider scope and purpose than a simple legal system
in the Western sense of them. Jurisprudence … is also a composite science of
law and morality”. Mungkin atas sebab inilah Robert Brunschvig menyebut
hukum Islam dengan “ethico juridical”. Berbeda dengan di Barat di mana
hukum positif tidak mungkin menyatu dengan hukum moralitas, meskipun keduanya
menyentuh lahan pembahasan yang sama. Bagi mereka “law that is not
humanly enacted and recognized, and whose observance is not ascertainbale by
human faculties, is not law.
C.
Selayang Pandang Tokoh-tokoh Fiqih
Perkembangan fiqih setelah masa para tabi’in
sebagaimana dalam tulisan Burhanuddin (2001: 24-26), muncul berbagai titik
tolak para ulama’ dalam menetapkan hukum yang berbeda-beda, dimana
apabila ulama’ yang satu melihat dari sudut pandang maslahat, maka ulama’
yang lain melihat dari sudut pandang Sunnah. Di sinilah awal perbedaan dalam
mengistinbatkan hukum di kalangan ulama’, sehingga muncul tiga
kelompok ulama’ yaitu Madrasah Al-Iraq, Madrasah Al-Kufah, Madrasah
Al-Madinah. Baru setelah itu munculah para imam mujtahid, khususnya
empat imam mazhab, yaitu:
· Numan
Ibnu Ats-Tsabit
Beliau lebih dikenal dengan nama Imam Abu
Hanifah. Dia adalah seorang alim keturunan Persia, lahir di Basrah tahun 80 H
(699 M), beliau bekerja di Kuffah dan meninggal tahun 150 H (767 M). Abu
Hanifah terkenal sebagai ahli ar-ra’yu, yaitu banyak mendasarkan
pendapatnya pada ujian pikiran karena kurangnya hadis-hadis sahih di Basrah.
Murid-muridnya
yang terkenal adalah:
o Abu Yusuf, yang
meninggal tahun 183 H (798 M)
o Muhammad Ibnu
Hisam Al-Syaibani, meninggal tahun 189 H (804)
Kedua murid inilah yang berjasa besar dalam membentuk
Mazhab Hanafi. Mazhab ini berkembang di (Turkinsan, Bukhara, Samarkand),
Afganistan, Hindustan, dan Turki.
·
Malik Ibnu Anas
Beliau lebih
dikenal dengan sebutan Imam Malik, lahir di Madinah tahun 93 H (713 M) dan
meninggal tahun 179 H (795 M). Imam Malik terkenal sebagai ahli hadis. Pada
saat itu para ahli hadis banyak yang mengumpulkan. Disamping merujuk Al-Qur’an,
Imam Malik juga menjadikan Hadis Rasulullah SAW sebagai dasar fiqihnya. Buku
hadisnya yang terkenal berjudul Muwatta. Dialah yang mendirikan Mazhab
Maliki. Pengikut terbesarnya di seluruh daerah Islam bagian barat, seperti
Maroko, Aljazair, Tunis, Tripoli, Spanyol, Mesir, dan Afrika Tengah.
·
Muhammad Ibnu Idris Asy-Syafi’i
Beliau lebih populer dengan nama Imam
Asy-Syafi’i dilahirkan di Palestina tahun 150 H (767 M) dan meninggal tahun 204
H (802 M) di Mesir. Ia dibesarkan dan belajar di Mekkah dan di Madinah (pernah
belajar dari Imam Malik) serta merupakan pendiri Mazhab Syafi’i. Kitabnya yang
terkenal sampai sekarang ialah Al-Um yang dijadikan sebagai dasar dari
ilmu Ushul Al-Fiqih. Pengikut mazhabnya terbesar di Mesir, Afrika,
Tunis, Asia Tengah, Bahrein, Arabia Selatan, Yaman, Siam, Malaysia dan
Indonesia.
·
Imam Ahmad Ibnu Hambal
Imam
Ahmad Ibnu Hambal lahir di Bagdad tahun 164 H (776 M) dan meninggal tahun 241 H
(855 M). Ia terkenal sebagai ahli hadis. Kitabnya yang terkenal bernama Musnad
Ahmad Ibnu Hambal, yang berisi hampir 30.000 hadis. Dialah yang mendirikan
Mazhab Hambali, yang pengikutnya terbesar di Arabia Tengah, Arabia Barat, Oman,
Teluk Persia, Bagdad, Asia Tengah, dan Siria.
Disamping itu, ada lagi Mazhab
Syi’ah yang mempunyai fiqih tersendiri, Mazhab Zhahiri mempunyai fiqih
tersendiri pula. Imam-imam besar itulah yang telah menciptakan fiqih, yang
masih ditaati penganut Islam sampai sekarang.
D.
Metode Penelitian Fiqih dan Hukum Islam
Abuddin
Nata (2006: 295-297) dalam bukunya tertulis bahwa fiqih atau Hukum Islam
merupakan salah satu bidang studi Islam yang paling dikenal oleh masyarakat.
Hal ini karena fiqih terkait langsung dengan kehidupan masyarakat. Dari sejak
lahir sampai meninggal dunia manusia selalu berhubungan dengan fiqih. Karena
fiqih terlihat sangat menyatu dengan misi agama Islam, maka kehadirannya adalah
untuk mengatur kehidupan manusia agar tercipta kehidupan yang tertib dan
teratur.
Berdasarkan
pada pengamatan terhadap fungsi dari fiqih, maka muncullah beberapa serangkaian
penelitian terhadap pertumbuhan dan pengembangan fiqih dimana untuk mengetahui seberapa
jauh produk-produk hukum Islam tersebut dapat berubah sesuai dengan tuntutan
zaman. Karena itu untuk mengukur sejauh mana fiqih itu tetap aktual dan mampu
menanggapi perkembangan zaman, maka para ahli melakukan penelitian, diantaranya
berikut ini:
1. Model
Harun Nasution
Beliau adalah seorang Guru besar
dalam bidang Teologi dan Filsafat Islam, beliau juga mempunyai perhatian pada
fiqih, diantaranya Harun Nasution melakukan penelitian secara ringkas namun
mendalam terhadap berbagai literatur tentang hukum Islam dengan menggunakan
pendekatan sejarah. Harun Nasution telah berhasil mendeskripsikan struktur
hukum Islam secara komprehensif. Selanjutnya memalui pendekatan kesejarahan,
Harun Nasution membagi perkembangan hukum Islam menjadi beberapa periode, yaitu
sebagai berikut:
·
Periode Nabi
Pada
masa periode nabi, segala persoalan yang muncul dikembalikan lagi pada nabi
untuk penyelesaiannya, nabilah yang menjadi satu-satunya sumber hukum saat itu.
Secara langsung pembuat hukum adalah nabi, tetapi secara tidak langsung pembuat
hukum adalah Tuhan, karena hukum yang dikeluarkan nabi bersumber pada wahyu
dari Tuhan. Nabi hanya bertugas mneyampaikan dan melaksanakan hukum yang
ditentukan Tuhan, jadi sumber hukum yang ditinggalkan nabi untuk zaman
sesudahnya ialah Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
·
Periode Sahabat
Di masa sahabat, daerah yang dikuasai
Islam bertambah luas dan termasuk ke dalamnya daerah di luar Semenanjung Arab
yang telah mempunyai kebudayaan tinggi dan susunan masyarakat yang bukan
sederhana dibandingkan dengan masyarakat Arab ketika itu, sering dijumpai
berbagai persoalan hukum. Untuk itu para sahabat disamping berpegang kepada
Al-Qur’an dan Al-Sunnah juga kepada sunnah para sahabat.
·
Periode Ijtihad
Pada masa ijtihad ini, problema
hukum yang dihadapi semakin beragam akibat dari semakin bertambahnya daerah
Islam dengan berbagai macam bangsa masuk Islam dengan membawa berbagai macam
adat-istiadat, tradisi, dan sistem kemasyarakatan. Dalam kaitannya ini maka
muncullah para ahli hukum mujtahid yang disebut dengan imam atau faqih.
Dari uraian tersebut terlihat bahwa model
penelitian hukum Islam yang digunakan Harun nasution adalah penelitian
eksploratif, deskiptif, dengan menggunakan pendekatan kesejarahan. Interpretasi
yang dilakukan atas data-data historis tersebut selalu dikaitkan dengan konteks
sejarahnya.
2. Model
Noel J. Coulson
Noel
J. Coulson menyajikan hasil penelitiannya di bidang hukum Islam dalam bukunya
yang berjudul Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah. Penelitiannya yang
bersifat deskriptif analitis ini menggunakan pendekatan sejarah. Seluruh
informasi tentang perkembangan hukum pada setiap periode selalu dilihat dari
faktor-faktor sosio kultural yang mempengaruhinya, sehingga tidak ada satu pun
produk hukum yang dibuat dari ruang yang hampa sejarah.
Hasil
penelitiannya itu dituangkan dalam tiga bagian. Bagian pertama
menjelaskan tentang terbentuknya hukum syari’at. Bagian kedua
tentang pemikiran dan praktek hukum Islam di abad pertengahan. Bagian ketiga
menjelaskan tentang hukum Islam di masa modern.
Dari
penelitian Coulson, tampak bahwa dengan mengunakan pendekatan historis, Coulson
lebih berhasil menggambarkan perjalanan hukum Islam dari sejak berdirinya
hingga sekarang secara utuh, dan dari dari penelitian tersebut beliau berhasil
menempatkan hukum Islam sebagai perangkat norma dari perilaku teratur dan
merupakan suatu lembaga sosial dengan memperhatikan sekali masalah keluarga
karena keluarga yang baik, makmur dan bahagia maka akan tercipta pula
masyarakat yang baik, makmur, dan bahagia. Dengan melihat fungsi hukum
demikian, pengamatan terhadap perubahan sosial harus dijadikan pertimbangan
penting dalam rangka reformulasi hukum Islam.
3. Model
Mohammad Atho Mudzhar
Mohammad
Atho Mudzhar dalam menyelesaikan program doktornya di Universitas California,
Amerika Serikat, beliau menulis disertasi yang isinya berupa penelitian
terhadap produk fatwa Majelis Ulama Indonesia tahun 1975-1988 dengan judul Fatwas
of the Council of Indonesian Ulama A Study of Islamic Legal Thought in
Indonesian 1975-1988.
Tujuan
dari penelitian yang dilakukannya adalah untuk mengetahui materi fatwa yang
dikemukakan Majelis Ulama Indonesia (MUI) serta latar belakang sosial politik
yang melatarbelakangi timbulnya fatwa tersebut. Penelitian ini bertolak pada
asumsi bahwa produk fatwa yang dikeluarkan MUI selalu dipengaruhi oleh setting
sosio kultural dan sosio politik, serta fungsi dan status yang harus dimainkan
oleh lembaga tersebut.
Hasil
penelitian tersebut dituangkan dalam empat bab. Bab pertama mengemukakan
tentang latar belakang dan karakteristik Islam di Indonesia serta pengaruhnya
terhadap corak hukum Islam. Karakteristik tersebut dilihat dari empat aspek,
yaitu latar belakang kultur, doktrin teologi, struktur sosial, dan ideologi
politik. Bab Kedua tentang MUI dari segi latar belakangnya didirikannya,
sosio politik yang mengitarinya, hubungan majelis ulama dengan pemerintah dan
organisasi Islam, serta organisasi non-Islam lainnya dan berbagai fatwa yang
dikeluarkan. Bab ketiga tentang isi produk fatwa yang dikeluarkan MUI
serta metode yang digunakan. Bab keempat berisi tentang kesimpulan yang
dihasilkan dari studi tersebut.
Dari
uraian tersebut, terlihat bahwa bidang penelitian hukum Islam yang dilakukan
Atho Mudzhar termasuk penelitian uji teori atau uji asumsi (hipotesis) yang
dibangun dari berbagai teori yang terdapat dalam ilmu sosiologi hukum. Peneliti
dengan amat jelas menggunakan asumsi yang ingin dibuktikan, dalam penelitian
tersebut terlihat bahwa penelitian yang dilakukan Atho Mudzhar adalah
penelitian kepustakaan, sedangkan kerangka analisis yang digunakannya adalah
sosiologi hukum.
Hasil
penelitian tersebut terasa mengejutkan sebagian ulama’ fiqih
tradisional. Hal ini dinilai akan menghilangkan unsur kesakralan atau kekudusan
hukum Islam. Para ulama’ tradisional khawatir penelitian tersebut akan
menempatkan hukum Islam sebagai hukum sekuler yang dapat di ubah seenaknya.
Tetapi hal tersebut tidak mengherankan karena secara faktual hukum Islam atau
fiqih yang selama ini dipelajari dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi
bersifat ahistoris atau kehilangan konyeks sejarahnya. Para ulama’ yang
mempelajari fiqih pada umumnya tidak mengetahui berbagai faktor yang ikut serta
mempengaruhi terbentuknya hukum tersebut. Akibatnya mereka tidak tahu persis
konteks situasional yang menyebabkan mengapa produk hukum itu lahir. Dari
keadaan demikian sulit sekali diterima upaya refornasi dan pembaharuan dalam
hukum Islam. Apabila keadaan itu terus berlanjut, akan banyak sekali produk
hukum yang tidak lagi sesuai dengan tuntutan zaman , karena produk tersebut
dengan tuntutan sosial sudah terdapat ketidakcocokan atau telah terjadi
kesenjangan.
Tetapi
tidak sepenuhnya bahwa produk hukum Islam harus disesuaikan dengan tuntutan
zaman. Hukum Islam yang berkaitan dengan masalah ibadah ritual, jelas tidak
dipengaruhi oleh perubahan zaman sebagai contohnya adalah rukun shalat.
Penelitian
tersebut bermanfaat dalam upaya membuka pikiran dan pandangan para ulama’
fiqih di Indonesia yang cenderung kurang berani mengeluarkan fatwa, atau kurang
produktif dalam menjawab berbagai masalah aktual yang muncul di masyarakat sebagai
akibat dari kekurangpahaman dalam memahami situasi yang berkembang dan
bagaimana memanfaatkan situasi tersebut dalam rangka melahirkan produk Islam.
Penelitian tersebut pada intinya sejalan dengan penelitian yang dilakuakn
Coulson yang menggunakan pendekatan historis dalam penelitiannya. Dengan
demikian hukum Islam baik secara langsung maupun tidak langsung masuk kedalam
kategori ilmu sosial karena hal ini sama sekali tidak mengganggu kesucian dan
kesakralan Al-Qur’an yang menjadi sumber hukum Islam. Sebab yang dipersoalkan
bukan relevan tidaknya Al-Qur’an tetapi yang menjadi persoalan adalah apakah
hasil pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an terutama ayat-ayat ahkam
masih sejalan dengan tuntutan zaman atau tidak. Dengan cara inilah makna
kehadiran Al-Qur’an secara fungsuinal dapat dirasakan oleh masyarakat.
E.
Pendekatan Pokok Dalam Kajian Islam
Ali
Anwar Yusur (2003: 54) dalam tulisannya berpendapat bahwa kajian Islam secara
normatif agaknya masih banyak terbebani oleh misi keagamaan yang bersifat
memihak dan apologis, sehingga menyebabkan kadar kritis dan empiris terutama
dalam menelaah teks-teks atau naskah-naskah keislaman produk sejarah terdahulu
kurang begitu ditonjolkan. Apabila kajian Islam tersebut dilihat dari sudut
pandang historis, dimana Islam dalam arti yang dipraktikkan oleh umat manusia
serta tumbuh dan berkembang dalam sejarah kehidupan manusia, maka Islam dapat
dikatakan sebagai sebuah disiplin ilmu, yaitu ilmu keislaman (Islamic
Studies)
Peran
Islam dalam disiplin ilmu inilah, sehingga Islam itu sendiri menempati posisi
sebagai salah satu objek kajian keilmuan atau penelitian ilmiah. Dalam
mempelajari suatu disiplin ilmu maka diperlukan yang namanya suatu metode
pendekatan untuk memahami isi dari objek yang dikaji.
Taufik
Abdullah dan M. Rusli Karim (dalam Abuddin Nata 2006: 29-28) bahwa ada berbagai
pendekatan, meliputi: pendekatan teologi normatif, antropologis, sosiologis,
psikologis, historis, kebudayaan, dan pendekatan filosofis. Adapun yang
dimaksud dengan pendekatan di sini adalah cara pandang atau paradigma yang
terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami
agama. Dalam hubungan ini, Jalaluddin Rahmat mengatakan bahwa agama dapat
diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma. Realitas keagamaan yang
diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya.
Karena itu, tidak ada persoalan apakah penelitian agama itu penelitian ilmu sosial, penelitian legalistik atau
penelitian filosofis.
Ali
Anwar Yusuf (2003: 55-58) bahwa masing-masing pendekatan tersebut bertujuan
untuk meneliti dan mengkaji masalah-masalah yang spesifik dari berbagai masalah
keislaman. Kemudian ditentukan metode yang akan digunakan sesuai dengan masalah
yang akan dikajinya. Adapun metode-metode pendekatan yang sering digunakan
dalam mengkaji Islam antara lain adalah:
·
Metode Filosofis
Filsafat
adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang membahas segala sesuatu dengan tujuan
untuk memperoleh pengetahuan sedalam-dalamnya sejauh di dalam jangkauan
kemampuan akal manusia, kemudian berusaha untuk sampai kepada kesimpulan yang
universal dengan meneliti akar permasalahannya.
Harun
Nasution (dalam Yusuf 2003: 55)
menyatakan berfilsafat intinya adalah berfikir secara mendalam, seluas-luasnya
dan sebebas-bebasnya, tidak terikat dengan apa pun sehingga sampai kepada dasar
segala dasar.
Berfikir
secara filosofis dapat digunakan dalam memahami ajaran Islam (agama) dengan
maksud agar hakikat atau inti dari ajaran Islam dapat dimengerti dan dipahami
secara seksama. Memahami Islam melalui pendekatan filosofis, seseorang tidak
akan terjebak pada pengalaman agama yang bersifat formalistik, yakni
mengamalkan agama dengan tidak memiliki makna apa-apa atau kosong tanpa arti.
Namun tidak pula menafikan atau menyepelekan ibadah formal, tetapi ketika dia
melaksanakan ibadah formal disertai dengan penjiwaan dan penghayatan terhadap
maksud dan tujuan melaksanakan ibadah tersebut.
·
Metode Historis
Abdullah (dalam Yusuf, 2003: 56) menurut
bahasa sejarah dapat diartikan suatu cerita atau rekonstruksi atau
sebagai kumpulan gejala empiris di masa lampau. Sedangkan menurut istilah,
sejarah berarti suatu ilmu yang membahas berbagai peristiwa atau gejala dengan
memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang, dan pelaku dari
peristiwa tersebut. Metode ini mengajak seseorang untuk menukik dari alam
idealis ke alam yang bersifat empiris dan mendunia.
Metode historis sangat dibutuhkan dalam
memahami Islam, karena Islam itu sendiri turun dari sesuatu yang konkret dan
sangat berhubungan dengan kondisi sosial masyarakat. Bahkan Kuntowijoyo telah
melakukan studi mendalam terhadap ajaran Islam dan menyimpulkan bahwa kandungan
Al-Qur’an terbagi menjadi dua bagian:
o
Pertama, berisi konsep-konsep
o
Kedua, berisi kisah-kisah sejarah dan
perumpamaan
Dengan menggunakan metode sejarah,
seseorang diajak untuk masuk ke dalam situasi yang sebenarnya terhadap
terjadinya peristiwa, contonya dengan mempelajari sejarah turunnya atau
kejadian yang mengiringi Al-Qur’an (Asbab An-Nuzul). Dengan mengetahui
ilmu sebab Asbab An-Nuzul, seseorang akan mengetahui hikmah yang
terkandung dalam suatu ayat yang berhubungan dengan hukum tertentu atau tujuan
tertentu, sehingga hal ini dapat memelihara dari kekeliruan dalam kajian
Al-Qur’an atau ajaran-ajaran Islam lainnya.
· Metode
Teologi
Metode
teologi dalam memahami Islam yaitu dengan menggunakan kerangka ilimu ketuhanan
yang bertolak dari suatu keyakinan. Selanjutnya metode ini berkaitan dengan
pendekatan norrmatif, dimana pendekatan ini memandang Islam dari segi ajarannya
yang pokok dan asli dari Allah yang di dalamnya belum terdapat penalaran
pemikiran manusia. Dalam pendekatan teologis ini, Islam dilihat sebagai suatu
kebenaran mutlak dari Allah tidak ada kekurangan sedikit pun dan tampak
bersikap ideal dan diyakini sebagai agama yang sempurna dengan seperangkat
cirinya yang khas. Apabila Islam dipahami dengan pendekatan teologi normatif,
maka akan senantiasa menjunjung nilai-nilai luhur.
III. Kesimpulan
Dari
beberapa penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa perkembangan fiqih
dalam Metode Study Islam mengalami beberapa periode perkembangan yang diteliti
melalui beberapa model penelitian guna lebih menjelaskan dan memberi kemudahan
bagi penganut agama Islam untuk menjawab beberapa persoalan yang dihadapi umat
Rasulullah SAW sepeninggal beliau, dimana persoalan tersebut tidak muncul
ketika semasa hidup Rasulullah dengan memakai beberapa metode ijtihad
yang hal itu menjadikan Al-qur’an dan As-sunnah sebagai sumber pemikiran dan
dasar dalam membuat keputusan lalu
memfatwakannya. Hal ini semakin menjelaskan pada kita semua bahwa berfikir dan
bermusyawarah sangat bermanfaat untuk
terciptanya suatu keselarasan pendapat yang hal itu dapat menyatukan dan
mengurangi perpecahan dalam umat.
BIBLIOGRAFI
Burhanuddin. 2001. Fiqih Ibadah. Bandung: Pustaka Setia.
Faizin, Moh. Memahami Fungsi
dan Kegunaan Mempelajari Ilmu Fiqih. http://mohfaizinitueachiko.blogspot.com, diakses 11 Oktober 2014.
Karim, Syafi’i. 2006. Fiqih Ushul Fiqih. Cetakan IV. Bandung:
Pustaka Setia.
Nata, Abuddin. 2006. Metodologi
Studi Islam. (Ed) Revisi 10. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Yusuf, Ali Anwar. 2003. Studi Agama Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Z. Amhari, Moch. Kedudukan
Fiqih Dalam Pemikiran Islam. http://pondokmodernar-rosyid.blogspot.com, diakses 11 Oktober 2014.
0 komentar:
Posting Komentar