Pemimpin
adalah seorang yang mempunyai tanggung jawab dan tugas yang diberikan dari
pihak lain yang posisinya lebih tinggi darinya. Di dunia ini pemimpin yang
dimaksud adalah manusia. Manusia diberi tanggung jawab dan tugas oleh Allah
sebagai khalifah yang akan memimpin
di tempat keberadaannya. Dalam penciptaan khalifah,
para malaikat menolak akan adanya khalifah
yang akan membuat kerusakan dan pertumpahan darah di muka bumi, tetapi
Allah telah memberikan jawaban kepada malaikat yaitu kelebihan manusia yang
membedakannya dari makhluk Allah lainnya. Hal yang membedakan manusia inilah
yang menjadi landasan sampai para malaikat penuh dengan taat pada Allah ketika
diperintah untuk bersujud pada sang khalifah.
Kelebihan ini lah yang disebut dengan akal.
Allah memberikan akal kepada manusia
untuk berfikir tentang apa yang mereka ketahui, bahkan Allah memberikan
petunjuk kepada orang-orang yang berfikir, sebagaimana firman Allah:
الَّذِينَ
يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ
اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الألْبَابِ - ١٨-
Artinya: (yaitu)
mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di
antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah Diberi petunjuk oleh Allah dan
mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal sehat. (Q.S Az-Zumar: 18)
Peran akal dalam Islam pun sangat berpengaruh kuat
diantaranya adalah dalam penalaran-penalaran yang terdapat di dalam al-Quran.
Apa yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW tidak lah secara mentah kita terima begitu
saja karena ada hal-hal yang membutuhkan penalaran berfikir untuk mengolahnya
setiap apa yng disampaikan nabi. Hal ini pula yng menjadikan manusia bahkan
lebih unggul dengan malaikat sekalipun.
Dalam ilmu tasawuf, terutama tentang tasawuf falsafi sangat
dibutuhkan peran akal ini. Para sufi pun seperti Ibnu Rusyd berpendapat sangat
bahwa beliau sangat keberatan naql sebagai landasan akal, begitu juga
sebaliknya akal sebagai pembenar terhadap naql. Untuk mengetahui lebih lanjut
seberapa petingkah posisi akal terutama dalam pandangan sufi, maka akan dibahas
di makalah ini.
II.
Pembahasan
A.
Sketsa Akal
Sudah menjadi takdir bahwa manusia terlahir sebagai
makhluk yang sempurna, makhluk yang dicitakan Allah dari sari pati tanah
kemudian menjadikannya air mani, menjadi segumpal daging, yang didalamnya
terdapat tulang-belulang yang diselimuti daging, dan menjadi makhluk yang
berbentuk, sebagai mana firman Allah:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ مِن سُلَالَةٍ مِّن
طِينٍ -١٢- ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَّكِينٍ -١٣- ثُمَّ خَلَقْنَا
النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ
عِظَاماً فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْماً ثُمَّ أَنشَأْنَاهُ خَلْقاً آخَرَ
فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ -١٤-
Artinya: Dan sungguh, Kami telah
Menciptakan manusia dari saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami
Menjadikannya air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian,
air mani itu Kami Jadikan sesuatu yang melekat, lalu sesuatu yang melekat itu
Kami Jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami Jadikan tulang
belulang, lalu tulang belulang itu Kami Bungkus dengan daging. Kemudian, Kami
Menjadikannya makhluk yang (berbentuk) lain. Maha Suci Allah, Pencipta yang
paling baik. (Q.S.
Al-Mu’minun: 12-14)
Menurut
Mu’in dan Thahir dalam bukunya (1993: 13) bahwa anatomi tubuh manusia yang
sangat bernilai yaitu akal. Akal ini yang membuat manusia mempunyai
keistimewaan dari makhluk yang lain, maka manusia dengan pikirannya merupakan
isi alam yang paling mulia. Sabagai contoh bahwa manusia sejak lahir sudah
dibekali dengan akal oleh Allah yaitu saat ketika ada bayi yang lapar maka iya
dapat mempertimbangkan dan mengambil kesimpulan dengan cara menangis.
Dalam
bukunya Harun Nasution (1983: 1) mengatakan bahwa ajaran Islam yang diwahyukan
oleh Allah ada dua cara untuk memperolehnya yaitu yang pertama melalui jalan
wahyu dengan komunikasi antara Allah dengan manusia, dan yang kedua adalah
jalan akal yang dinaugerahkan Allah kepada manusia dengan kesan-kesan yang
diperoleh dari pancaindera sebagai bahan pemikiran untuk sampai kepada
kesimpulan. Jadi dapat disimpulkan bahwa hakikat manusia terletak pada akal,
sehingga akal berfungi sebagai ukuran kepribadian manusia itu sendiri.
Pendapat
sufi seperti Ibnu ‘Arabi, sebagaimana yang disebutkan diatas selain sebagai khalifah, Ibnu ‘Arabi menyebutkan bahwa manusia merupakan mazhaz (penampakan atau tempat kenyataan) dari asma dan
sifat Allah yang paling lengkap dan menyeluruh yang ruhnya berasal dari-Nya.
Sedangkan jasad manusia menurut para sufi hanyalah sebagai alat, perkakas atau
kendaraan bagi rohani dalam melakukan aktivitasnya. Tetapi secara esensial
manusia bukanlah jasad lahir yang diciptakan dari unsure-unsur materi, akan
tetapi rohani ini lah yang memepergunakan fungsi-fungsinya. Oleh karena itu
para sufi lebih tertarik untuk membahas masalah al-ruh,
al- nafs, al-aql dan hati
nurani.
Menurut
Ali dalam terjemahan dan tafsir Ali Audah (1923) bahwa pandangan para sufi
terhadap keistimewaan manusia yaitu akal, mereka mempunyai pandangan sendiri
yang khas mengenai akal yaitu mengartikan akal sebagai alat kesempurnaan yang
dapat digunakan untuk meraik kesempurnaan diri. Tetapi disamping itu ada
beberapa perbedaan pandangan dalam menanggapi keistimewaan akal manusia yaitu
yang pertama menggangap bahwa akal itu lebih mempunyai eksistensi dalam manusia
karena dapat membaca realitas alam yang kemudian diproses menjadi ilmu,
sedangkan sufi lain mengatakan ada yang lebih mempunyai eksistensi dalam diri
manusia yaitu hati yang dianggap mengetahui segala sesuatu baik yang terindra
maupun yang tidak terindra sekalipun. Sehingga hati merupakan tempat akal dan
pemahaman, kasih sayang dan emosi.
Akal
dalma bahasa Arab berarti ikatan, yang merupakan kunci dalam memahami Islam.
Akal adala tempat untuk menampung akidah syari’ah dan akhlak. Sedangkan hati
adalah wilayah hakikat. Kedudukan akal yang memenuhi persyaratan akan berusaha
dengan segenap kemampuan untuk memahami kaidah hukum Islam yang terdapat dalam
al-Qur’an dan as-Sunnah yang kemudian diterapkan dalam kehidupan atau dengan
kaidah hukum apabila tidak terdapat dalam nash.
Akal atau daya pikir memiliki empat jenis
sebagaimana menurut Majid dalam bukunya (2010: 149) diantaranya yaitu:
1.
Akal yang hanya memikirkan kehidupan dunia
2.
Akal yang hanya memikirkan persoalan akhirat
3.
Akal ruh atau hikmah ruhaniyah
4.
Akal semesta raya
B.
Akal dalm Pandangan Para
Sufi
1.
Imam al-Ghazali
Al-Ghazali
mempunyai nama lengkap adalah Adul Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin
Ta’us ath-Thusi asy-Syafi’I al-Ghazali. Secara singkat dipanggil al-Ghazali
atau Abu HAmid al-Ghazali. Ia dipanggil al-Ghazali karena dilahirkan di Ghazlah, suatu kota di Khurusan, Iran. Pada tahun 450
H/1058 M, tiga tahun setelah kaum Saljuk mengambil alih kekuasaan di Baghdad
(Anwar dan Sholihin, 2004: 109).
Dialah
yang paling banyak menuliskan pemikirannya tentang akal, baik dari segi
filsafat maupun tasawuf bahkan mempertemukannya dan diterima oleh kelompok umala’ fiqh.
Menurutnya
akal adalah mengetahui hakekat segala sesuatu. Akal diibaratkan sebagai ilmu
yang bertempat pada jiwa. Pengertian akal pada tingkat pertama ini ditekankan
pada ilmu dan sifatnya. Akal dalam pengertian kedua adalah akal yang memperoleh
ilmu pengetahuan itu sendiri. Akal itu tidak lain adalah jiwa yang bersifat
lembut (lathif) dan mempunyai sifat ketuhanan (Rabbani) (Solihin, 2003: 128).
Istilah
akal (al-aql) disamping an-nafs , ar-roh
dan al-qalb,
oleh al-Ghazali dimaksudkan untuk menunjukkan
esensi manusia, yang berbeda hanya istilahnya saja.
Ada
beberapa pengertian tentang akal menurut al-Ghazali antara lain:
a.
Akal adalah potensi yang siap menerima penegtahuan teoritis
Akal mempunyai
potensi dan sifat yang siap menerima suatu pengetahuan yang sifatnya berupa
penalaran-penalaran dan merenungkan pekerjaan pekerjaan yang samara tau
tersembunyi yang memerlikan pikiran. Diman dapat diartikan bahwa akal adalah
naluri yang siap untuk mengetahui ilmu-ilmu penalaran.
Ibarat
kata akal adalah cahaya yang diletakkan di dalam hati untuk disiapkan
mengetahui sesuatu hal. Dan akal itu seperti cermin tetapi berbeda dengan
cermin yang lain pada umumnya dari suatu benda yang mempunyai bentun dan warna
yang sifat khususnya baginya adalah kilauan.
b.
Akal adalah pengetahuan tentang kemungkinan sesuatu yang mungkin dan
kemuhalan sesuatu yang mustahil yang
muncul pada anak usia tamyis. Contohnya adalah pengetahuan bahwa dua itu lebih
banyak dari pada satu dan kemustahilan seseorang dalam waktu yang bersamaan di
dua tempat.
c.
Akal adalah pengetahuan yang diperoleh secara empiris dalam berbagai
kondisi. Pengetahuan didapat oleh akal dengan pengalaman empiris dalam situasi
dan kondisi tertentu. Hal ini dapat diilustrasikan bahwa akal memperoleh
pengetahuan bersumber dari pendidikan, pembinaan dan penelitian.
d.
Akal adalah potensi untuk mengetahui akibat sesuatu dan memukul shahwat
yang mendorong pada kelezatan sesaat (Nasirudin, 2010: 50). Dengan demikian orang
yang berakal adalah orang yang di dalamnya melakukan perbuatan atau tidak
merlakuakan perbuatan didasarkan pada akibat yang akan muncul bukan atas dasar
shahwat yang mengakibatkan kenikmatan sesaat.
Dari
keempat pandangan al-Ghazali diatas, dapat disimpulkan bahwa pandanfan pertama
dan kedua merupakan pembawaan sedangkan pandangan ketiga dan keempat merupakan
usaha. Secara garis besar orang yang berakal akan memilih kenikmatan yang lama
dari pada kenikmatan sementara, sedangkan kenikmatan sementara adalah
kenikmatan dunia.
Bagi
al-Ghazali akal sangatlah bernilai, sebab tidak ada keraguan bahwa akal lebih
utama dari pada indera, karena akal memiliki bidang dan objek yang lebih luas
dari indera . Al-ghazali juga pernah mengatakan bahwa “ Akal adalah sumber
ilmu, tempat terbit dan dasar ilmu. Ilmu itu berjalan seperti jalannya buah
dari pohon, cahaya dari matahari, dan penglihatan dari mata. Maka bagaimana
tidak mulia sesuatu yang menjadi perantaraan kebahagiaan dunia dan akhirat?”.
hal ini membuktikan bahwa perhatian al-Ghazali terhadap akal begitu besar
memuliakan akal.
2.
Dzu an-Nun al-Misri
Dzu
an-Nun al-Misri adalah nama julukan bagi seorang sufi yang tinggal di sekitar pertengahan abad
ketiga Hijriah. Nama lengkapnya Abu al-Faidh Tsauban bin Ibrahim. Ia dilahirkan
di Ikhmim, dataran tinggi Mesir, pada tahun 180 H/796 M dan wafat pada tahun
246 H/856 M. Julukan Dzu an-Nun diberikan kepadanya sehubungan dengan berbagai
kekeramatannya yang Allah berikan kepadanya. Di antaranya ia pernah
mengeluarkan anak dari perut buaya di Sungai Nil dalam keadaan selamat atas
permintaan ibu dari anak tersebut (Anwar dan Solihin, 2004: 123).
Menurut al-Misri dalam buku Harun Nasution
(1992: 76) akal mengenai pengetahuan terhadap Tuhan (Allah), beliau membaginya
menjadi tiga:
a.
Pengetahuan awam: Allah satu dengan perantaraan ucapan Syahadat
b.
Pengetahuan ulama’
: Allah satu menurut logika akal
c.
Pengetahuan sufi: Allah satu dengan perantaraan hari sanubari
Dari
ketiga pandangan tersebut oleh al-Misri pandangan pertama dan kedua adala
termasuk kategori pengetahuan hakiki tentang Allah. Sehingga beliau mengetahui
Allah dengan kedua pandangan ini hanya dengan aqli dan naqli. Sehingga dalam
ma’rifatnya al-Misri membagi menjadi dua yaitu, pertama al-ma’rifat sufiah, yaitu dengan mengguanakan qalb yang biasa digunakan
oleh para sufi. Sedangkan yang kedua al-ma’rifah
aqliyah yaitu menggunakan akal
yang yang biasa dipakai oleh para teolog.
Konsep
ma’rifat seperti ini tidak bisa dijangkau oleh oleh akal, hanaya dapat
dijangkau oleh tuhan sendiri. Sejalan dengan pemikiran al-Misri, al-Qusairi
juga berpendapat bahwa qalb (hati) berbeda dengan akal, akal tidak bisa
memperoleh pengetahuan yang sebenarnya
tentang tuhan sedangkan hati dapat mengetahui hakekat dari segala yang ada dan
jika dilimpahi cahaya Tuhan hati bisa mengetahui rahasia-rahasia Tuhan tidak
seperti akal (Nasution, 1983: 77)
C.
Kesimpulan
Dari
beberapa pandangan - pandangan yang dikemukakan oleh para sufi dapat dikatakan
bahwa sejatinya akal merupakan keistimewaan yang dimiliki oleh manusia, yang
merupakan suatu yang menjadikan manusia lebih unggul dari makhluk Allah yang
lain, dan eksistensi akal itu sendiri dalam pandanagn sufi sangat berpengaruh
walaupun ada beberapa perbedaan dalam mengartikannya.
0 komentar:
Posting Komentar