Rabu, 15 Juni 2016

Eksistensi Akal dalam Pandangan Sufi



I.          Pendahuluan
            Pemimpin adalah seorang yang mempunyai tanggung jawab dan tugas yang diberikan dari pihak lain yang posisinya lebih tinggi darinya. Di dunia ini pemimpin yang dimaksud adalah manusia. Manusia diberi tanggung jawab dan tugas oleh Allah sebagai khalifah yang akan memimpin di tempat keberadaannya. Dalam penciptaan khalifah, para malaikat menolak akan adanya khalifah yang akan membuat kerusakan dan pertumpahan darah di muka bumi, tetapi Allah telah memberikan jawaban kepada malaikat yaitu kelebihan manusia yang membedakannya dari makhluk Allah lainnya. Hal yang membedakan manusia inilah yang menjadi landasan sampai para malaikat penuh dengan taat pada Allah ketika diperintah untuk bersujud pada sang khalifah. Kelebihan ini lah yang disebut dengan akal.
            Allah memberikan akal kepada manusia untuk berfikir tentang apa yang mereka ketahui, bahkan Allah memberikan petunjuk kepada orang-orang yang berfikir, sebagaimana firman Allah:

الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الألْبَابِ - ١٨-
Artinya: (yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah Diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal sehat. (Q.S Az-Zumar: 18)
            Peran akal dalam Islam pun sangat berpengaruh kuat diantaranya adalah dalam penalaran-penalaran yang terdapat di dalam al-Quran. Apa yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW tidak lah secara mentah kita terima begitu saja karena ada hal-hal yang membutuhkan penalaran berfikir untuk mengolahnya setiap apa yng disampaikan nabi. Hal ini pula yng menjadikan manusia bahkan lebih unggul dengan malaikat sekalipun.
            Dalam ilmu tasawuf, terutama tentang tasawuf falsafi sangat dibutuhkan peran akal ini. Para sufi pun seperti Ibnu Rusyd berpendapat sangat bahwa beliau sangat keberatan naql sebagai landasan akal, begitu juga sebaliknya akal sebagai pembenar terhadap naql. Untuk mengetahui lebih lanjut seberapa petingkah posisi akal terutama dalam pandangan sufi, maka akan dibahas di makalah ini.

II.            Pembahasan
A.          Sketsa Akal
            Sudah menjadi takdir bahwa manusia terlahir sebagai makhluk yang sempurna, makhluk yang dicitakan Allah dari sari pati tanah kemudian menjadikannya air mani, menjadi segumpal daging, yang didalamnya terdapat tulang-belulang yang diselimuti daging, dan menjadi makhluk yang berbentuk, sebagai mana firman Allah:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ مِن سُلَالَةٍ مِّن طِينٍ -١٢- ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَّكِينٍ -١٣- ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَاماً فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْماً ثُمَّ أَنشَأْنَاهُ خَلْقاً آخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ -١٤-
Artinya: Dan sungguh, Kami telah Menciptakan manusia dari saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami Menjadikannya air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian, air mani itu Kami Jadikan sesuatu yang melekat, lalu sesuatu yang melekat itu Kami Jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami Jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami Bungkus dengan daging. Kemudian, Kami Menjadikannya makhluk yang (berbentuk) lain. Maha Suci Allah, Pencipta yang paling baik. (Q.S. Al-Mu’minun: 12-14)
            Menurut Mu’in dan Thahir dalam bukunya (1993: 13) bahwa anatomi tubuh manusia yang sangat bernilai yaitu akal. Akal ini yang membuat manusia mempunyai keistimewaan dari makhluk yang lain, maka manusia dengan pikirannya merupakan isi alam yang paling mulia. Sabagai contoh bahwa manusia sejak lahir sudah dibekali dengan akal oleh Allah yaitu saat ketika ada bayi yang lapar maka iya dapat mempertimbangkan dan mengambil kesimpulan dengan cara menangis.
            Dalam bukunya Harun Nasution (1983: 1) mengatakan bahwa ajaran Islam yang diwahyukan oleh Allah ada dua cara untuk memperolehnya yaitu yang pertama melalui jalan wahyu dengan komunikasi antara Allah dengan manusia, dan yang kedua adalah jalan akal yang dinaugerahkan Allah kepada manusia dengan kesan-kesan yang diperoleh dari pancaindera sebagai bahan pemikiran untuk sampai kepada kesimpulan. Jadi dapat disimpulkan bahwa hakikat manusia terletak pada akal, sehingga akal berfungi sebagai ukuran kepribadian manusia itu sendiri.
            Pendapat sufi seperti Ibnu ‘Arabi, sebagaimana yang disebutkan diatas selain sebagai khalifah, Ibnu ‘Arabi menyebutkan bahwa manusia merupakan mazhaz (penampakan atau tempat kenyataan) dari asma dan sifat Allah yang paling lengkap dan menyeluruh yang ruhnya berasal dari-Nya. Sedangkan jasad manusia menurut para sufi hanyalah sebagai alat, perkakas atau kendaraan bagi rohani dalam melakukan aktivitasnya. Tetapi secara esensial manusia bukanlah jasad lahir yang diciptakan dari unsure-unsur materi, akan tetapi rohani ini lah yang memepergunakan fungsi-fungsinya. Oleh karena itu para sufi lebih tertarik untuk membahas masalah al-ruh, al- nafs, al-aql dan hati nurani.
            Menurut Ali dalam terjemahan dan tafsir Ali Audah (1923) bahwa pandangan para sufi terhadap keistimewaan manusia yaitu akal, mereka mempunyai pandangan sendiri yang khas mengenai akal yaitu mengartikan akal sebagai alat kesempurnaan yang dapat digunakan untuk meraik kesempurnaan diri. Tetapi disamping itu ada beberapa perbedaan pandangan dalam menanggapi keistimewaan akal manusia yaitu yang pertama menggangap bahwa akal itu lebih mempunyai eksistensi dalam manusia karena dapat membaca realitas alam yang kemudian diproses menjadi ilmu, sedangkan sufi lain mengatakan ada yang lebih mempunyai eksistensi dalam diri manusia yaitu hati yang dianggap mengetahui segala sesuatu baik yang terindra maupun yang tidak terindra sekalipun. Sehingga hati merupakan tempat akal dan pemahaman, kasih sayang dan emosi.
            Akal dalma bahasa Arab berarti ikatan, yang merupakan kunci dalam memahami Islam. Akal adala tempat untuk menampung akidah syari’ah dan akhlak. Sedangkan hati adalah wilayah hakikat. Kedudukan akal yang memenuhi persyaratan akan berusaha dengan segenap kemampuan untuk memahami kaidah hukum Islam yang terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah yang kemudian diterapkan dalam kehidupan atau dengan kaidah hukum apabila tidak terdapat dalam nash.

Akal atau daya pikir memiliki empat jenis sebagaimana menurut Majid dalam bukunya (2010: 149) diantaranya yaitu:
1.    Akal yang hanya memikirkan kehidupan dunia
2.    Akal yang hanya memikirkan persoalan akhirat
3.    Akal ruh atau hikmah ruhaniyah
4.    Akal semesta raya

B.          Akal dalm Pandangan Para Sufi
1.            Imam al-Ghazali
            Al-Ghazali mempunyai nama lengkap adalah Adul Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us ath-Thusi asy-Syafi’I al-Ghazali. Secara singkat dipanggil al-Ghazali atau Abu HAmid al-Ghazali. Ia dipanggil al-Ghazali karena dilahirkan di Ghazlah, suatu kota di Khurusan, Iran. Pada tahun 450 H/1058 M, tiga tahun setelah kaum Saljuk mengambil alih kekuasaan di Baghdad (Anwar dan Sholihin, 2004: 109).
            Dialah yang paling banyak menuliskan pemikirannya tentang akal, baik dari segi filsafat maupun tasawuf bahkan mempertemukannya dan diterima oleh kelompok umala’ fiqh.
            Menurutnya akal adalah mengetahui hakekat segala sesuatu. Akal diibaratkan sebagai ilmu yang bertempat pada jiwa. Pengertian akal pada tingkat pertama ini ditekankan pada ilmu dan sifatnya. Akal dalam pengertian kedua adalah akal yang memperoleh ilmu pengetahuan itu sendiri. Akal itu tidak lain adalah jiwa yang bersifat lembut (lathif) dan mempunyai sifat ketuhanan (Rabbani) (Solihin, 2003: 128).
            Istilah akal (al-aql) disamping an-nafs , ar-roh dan al-qalb, oleh al-Ghazali dimaksudkan untuk menunjukkan esensi manusia, yang berbeda hanya istilahnya saja.
            Ada beberapa pengertian tentang akal menurut al-Ghazali antara lain:
a.         Akal adalah potensi yang siap menerima penegtahuan teoritis
     Akal mempunyai potensi dan sifat yang siap menerima suatu pengetahuan yang sifatnya berupa penalaran-penalaran dan merenungkan pekerjaan pekerjaan yang samara tau tersembunyi yang memerlikan pikiran. Diman dapat diartikan bahwa akal adalah naluri yang siap untuk mengetahui ilmu-ilmu penalaran.
     Ibarat kata akal adalah cahaya yang diletakkan di dalam hati untuk disiapkan mengetahui sesuatu hal. Dan akal itu seperti cermin tetapi berbeda dengan cermin yang lain pada umumnya dari suatu benda yang mempunyai bentun dan warna yang sifat khususnya baginya adalah kilauan.

b.        Akal adalah pengetahuan tentang kemungkinan sesuatu yang mungkin dan kemuhalan sesuatu yang mustahil  yang muncul pada anak usia tamyis. Contohnya adalah pengetahuan bahwa dua itu lebih banyak dari pada satu dan kemustahilan seseorang dalam waktu yang bersamaan di dua tempat.

c.         Akal adalah pengetahuan yang diperoleh secara empiris dalam berbagai kondisi. Pengetahuan didapat oleh akal dengan pengalaman empiris dalam situasi dan kondisi tertentu. Hal ini dapat diilustrasikan bahwa akal memperoleh pengetahuan bersumber dari pendidikan, pembinaan dan penelitian.

d.        Akal adalah potensi untuk mengetahui akibat sesuatu dan memukul shahwat yang mendorong pada kelezatan sesaat (Nasirudin, 2010: 50). Dengan demikian orang yang berakal adalah orang yang di dalamnya melakukan perbuatan atau tidak merlakuakan perbuatan didasarkan pada akibat yang akan muncul bukan atas dasar shahwat yang mengakibatkan kenikmatan sesaat.
          Dari keempat pandangan al-Ghazali diatas, dapat disimpulkan bahwa pandanfan pertama dan kedua merupakan pembawaan sedangkan pandangan ketiga dan keempat merupakan usaha. Secara garis besar orang yang berakal akan memilih kenikmatan yang lama dari pada kenikmatan sementara, sedangkan kenikmatan sementara adalah kenikmatan dunia.
          Bagi al-Ghazali akal sangatlah bernilai, sebab tidak ada keraguan bahwa akal lebih utama dari pada indera, karena akal memiliki bidang dan objek yang lebih luas dari indera . Al-ghazali juga pernah mengatakan bahwa “ Akal adalah sumber ilmu, tempat terbit dan dasar ilmu. Ilmu itu berjalan seperti jalannya buah dari pohon, cahaya dari matahari, dan penglihatan dari mata. Maka bagaimana tidak mulia sesuatu yang menjadi perantaraan kebahagiaan dunia dan akhirat?”. hal ini membuktikan bahwa perhatian al-Ghazali terhadap akal begitu besar memuliakan akal.

2.       Dzu an-Nun al-Misri
          Dzu an-Nun al-Misri adalah nama julukan bagi seorang sufi  yang tinggal di sekitar pertengahan abad ketiga Hijriah. Nama lengkapnya Abu al-Faidh Tsauban bin Ibrahim. Ia dilahirkan di Ikhmim, dataran tinggi Mesir, pada tahun 180 H/796 M dan wafat pada tahun 246 H/856 M. Julukan Dzu an-Nun diberikan kepadanya sehubungan dengan berbagai kekeramatannya yang Allah berikan kepadanya. Di antaranya ia pernah mengeluarkan anak dari perut buaya di Sungai Nil dalam keadaan selamat atas permintaan ibu dari anak tersebut (Anwar dan Solihin, 2004: 123).
          Menurut al-Misri dalam buku Harun Nasution (1992: 76) akal mengenai pengetahuan terhadap Tuhan (Allah), beliau membaginya menjadi tiga:
a.       Pengetahuan awam: Allah satu dengan perantaraan ucapan Syahadat
b.      Pengetahuan ulama’ : Allah satu menurut logika akal
c.       Pengetahuan sufi: Allah satu dengan perantaraan hari sanubari

            Dari ketiga pandangan tersebut oleh al-Misri pandangan pertama dan kedua adala termasuk kategori pengetahuan hakiki tentang Allah. Sehingga beliau mengetahui Allah dengan kedua pandangan ini hanya dengan aqli dan naqli. Sehingga dalam ma’rifatnya al-Misri membagi menjadi dua yaitu, pertama al-ma’rifat sufiah, yaitu dengan mengguanakan qalb yang biasa digunakan oleh para sufi. Sedangkan yang kedua al-ma’rifah aqliyah yaitu menggunakan akal yang yang biasa dipakai oleh para teolog.
            Konsep ma’rifat seperti ini tidak bisa dijangkau oleh oleh akal, hanaya dapat dijangkau oleh tuhan sendiri. Sejalan dengan pemikiran al-Misri, al-Qusairi juga berpendapat bahwa qalb (hati) berbeda dengan akal, akal tidak bisa memperoleh pengetahuan  yang sebenarnya tentang tuhan sedangkan hati dapat mengetahui hakekat dari segala yang ada dan jika dilimpahi cahaya Tuhan hati bisa mengetahui rahasia-rahasia Tuhan tidak seperti akal (Nasution, 1983: 77)

C.          Kesimpulan
            Dari beberapa pandangan - pandangan yang dikemukakan oleh para sufi dapat dikatakan bahwa sejatinya akal merupakan keistimewaan yang dimiliki oleh manusia, yang merupakan suatu yang menjadikan manusia lebih unggul dari makhluk Allah yang lain, dan eksistensi akal itu sendiri dalam pandanagn sufi sangat berpengaruh walaupun ada beberapa perbedaan dalam mengartikannya.


  

















0 komentar:

Posting Komentar